Abak pulang setelah bercakap -- cakap sebentar dengan Inyiak. Remote TV Inyiak serahkan padaku, dusuruhnya aku mengganti acara TV Â yang ku ingini, tapi aku menolak, aku pilih mematikan TV, Inyiak terkekeh.
Kacang Tojin di Toples tinggal separo, kami ngobrol ngalor -- ngidul hingga larut, bahkan Inyiak menyinggung pasal Parida, kurasakan wajahku agak bersemu, perempuan yang kutaksir sejak lama itu, tapi aku tak pernah berani menemuinya.Â
Lelah ngobrol, kami tertidur di depan TV. Tiba -- tiba pintu depan digedor hingga bergetar, tergeragap benar aku dibuatnya, Inyiak langsung bangkit, mengambil besi panjang di dapur, mata tuanya lincah menerobos celah dinding.
"Mak..bukak, iko Rosna" "Rosna?" Inyiak heran, saat pintu di buka, terlihat Amak dan Son tegak di mulut pintu, aku ternganga. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke dapur, duduk dekat tungku masak.Â
Terdengar Amak bercakap -- cakap lirih dengan Inyiak. "Ned! Baliak yuang" Amak memanggilku, aku tak bergeming, "Ned..Amak jampuik ko, baliaklah" kali ini suara Inyiak, aku berdehem pelan, "Ned tetap ingin lanjutkan kuliah keguruan" jawabku setengah kesal, layaknya anak kecil, "iyo..iyo.." jawab Amak, aku langsung berdiri.
Rupa -- rupanya Amak belum menyerah, di hari kepulanganku, Amak menyodorkan dua lembar celana dasar hitam lengkap dengan kemeja abu -- abu lengan panjang, masih dibungkus plastik.Â
"Masih baru ko Ned, kalu 'ang pindah jurusan, Amak hadiahkan lebih dari ini, Amak hadiahkan Parida, perempuan berjilbab itu" Amak setengah berbisik di telingaku.
Kesal benar aku, kenapa pula Amak membawa -- bawa Parida. "Indak Mak!" aku bangkit, menyalami Abak dan Amak, Abak melepasku dengan senyum, sementara Amak berdiri di mulut pintu dengan air muka berubah -- ubah.Â
Sepanjang jalan aku tak tenang, ingin rasanya kembali ke rumah, meluapkan kekesalanku pada Amak, agaknya aku harus menunjukkan kemarahanku pada Amak. Tapi, perjalanan sudah setengah. Nafasku naik turun, tangan kukepal -- kepalkan tak karuan.
"Ambo nak jadi guru Mak..!!!" teriakku sekuat -- kuatnya. "Ned..Ned..bangun, ngapo 'ang ko?" Endrizal, teman sekamarku menepuk -- nepuk bahuku, "Astaghfirullah..ambo mengigau Zal.." kuseka dahiku. Bayang -- bayang Amak membuatku ragu untuk melangkah. Kian hari, kian gusar aku dibuatnya. Bagaimana ini? Apa? Terus melangkah, tapi..
"Ned...anak Ambo, la jadi urang top! Jadi guru hebat, sekarang menjabat Wakil Kepala Diknas Provinsi pulo, anak Ambo Ned tu, anak Ambo..ko ha.." itulah yang dibicarakan Amak setiap bertemu tetangga. Aku tersenyum sendiri mendengar Abak menirukan gaya bicara Amak di ujung telephon. Aku memang kesal, marah bercampur kecewa pada Amak. Tapi, itu lima tahun lalu. Berkat dorongan Abak, aku terus melangkah.