Celana dasar hitam dan kemeja lengan panjang abu -- abu pemberian Amak lima tahun lalu, masih cocok kukenakan. Ah..Amak tahu benar seleraku. Bahkan, kemarin kukenakan pakaian itu saat memenuhi panggilan dari Diknas Provinsi. SK Pengangkatanku sebagai Wakil Kepala Diknas Provinsi kuterima kemarin. Langsung kukirim copyannya ke Balimbing, dan barusan Abak menelponku, mengucapkan selamat.Â
Abak bilang, Â Amak membuncah kegirangan, sampai -- sampai copy an SK ku itu, Amak tempel di teras depan rumah, "biar urang kampung ko tahu, kalu Ned la jadi urang top!" kata Amak.
Tidak mudah untuk sampai disini. Banyak hal yang menjegal langkahku, terutama keinginan Amak agar aku pindah jurusan, awal --awal  mengajar pun, Amak kerap meledekku dengan panggilan Oemar Bakrie, masa awal -- awal mengajar yang berat, perbedaan pendapat sesama guru, pertengkaranku dengan kepala Diknas saat aku mengurangi jam belajar di kelas.Â
Selang satu setengah tahun, kepala diknas itu memintaku untuk menjadi wakilnya, dan aku diharuskan melanjutkan kuliah S2, karena nanti aku akan menggantikan posisinya pula, "di zaman ini, langka pemuda sepertimu John" ia memujiku, untuk kali pertama aku dipanggil John.
Nyata benar kulihat, peran mengajar dan mendidik yang melebur jadi satu. Mengajar dan mendidik dinilai satu pekerjaan yang sama. Sekuat tenaga kupisahkan kedua peran yang jelas berbeda itu. Kutanamkan, mendidik lebih penting dari mengajar, dan memang lebih berat. Dalam mendidik, sudah pasti ada unsur mengajar, tapi jika sebatas mengajarkan pelajaran tertentu, tidak bisa dikatakan mendidik.
Seperti yang kubilang dulu pada Abak, saat duduk di bawah pohon Randu. Aku tak ingin sekedar mengajar. Sebagai guru, aku sadar betul, aku harus bertanggung jawab pada anak didikku.Â
Tidak hanya intelektual mereka yang harus aku asah, tapi ada sesuatu yang lebih prinsipil dari sekedar intelektual. Yaitu, moral, kepribadian dan budi pekerti yang terkadang tidak dinilai penting dan tidak perlu diperhitungkan lagi ini hari. Iya kan?
Untuk dapat mendidik, diperlukan ketulusan jiwa raga, kesabaran yang tiada batas. Sebab, jika masih memiliki batas, itu bukanlah kesabaran, ikhlas dari hati nurani, dan yang tak kalah penting adalah segudang ilmu pengetahuan, karena "Knowledge is power"
Lagu sang Maestro bilang "jadi guru jujur berbakti memang makan hati!" dengan tegas kukatakan disini, itu tidak tepat! Karena nyatanya aku tidak makan hati, yang ada hatiku kian lapang. Hei..aku tidak bilang aku sudah berhasil jadi guru yang jujur dan berbakti, tapi aku tengah merancang jalan untuk menuju kesana.
"Fiuuhh.." aku bangkit, menyudahi nostalgia pahit yang sebenarnya manis itu. Banyak hal yang harus kupersiapkan untuk besok, karena amanah yang kupegang sekarang lebih berat dari sebelumnya. Samar -- samar terdengar Adzan Maghrib dari Masjid Raya Ganting, aku harus segera menemuiNYA.
Ponselku berdering, kenapa Amak menelphon maghrib begini? "Assalamualaikum yuang! Amak tahu kaba 'ang sangat baik kan? Amak tunggu yuang" aku menahan tawa mendengar suara Amak yang kemayu  "Wa'alaikumsalam, tunggu apo Mak?" "tunggu SK 'ang diangkat jadi Menteri Pendidikan.." "hah!"Â