Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Haus!

17 Januari 2020   10:59 Diperbarui: 17 Januari 2020   11:03 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.claret.org/

"Saatnya mempertobatkan kaum kafir di benua gelap," tutur Krapf lekas membopong peti pakaian yang telah dikemas rapih.

"Mereka bukan kafir, hanya belum mendengar nama Yesus," timpal Rebmann rendah tersenyum.

Krapf dan Rebmann menjadi dua misionaris kristen perdana berkebangsaan Jerman yang diutus pergi berevangelisasi di Afrika Timur, 20 Kilometer dari Mombasa.

"Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk tiba di sana," tanya Krapf.

"Saya sendiri belum tahu. Katanya 3 hari tiga malam. Seperti lagu Yunus di perut ikan," Jawab Rebmann menghibur.

"Tiga hari tiga malam?"

"Iyah. Menurut nahkoda kemarin," canda Rebmann.

"Tapii...."

"Selamat jalan pendeta semoga Tuhan menyertai," selah seorang bongkok menghentikan percakapan mereka.

"Amin," jawab keduanya dengan nada yang tak harmoni.

"Entah kenapa aku takut kisah Yunus terjadi pada kita."

"Jangan takut Tuhanlah yang menyelesaikan misi baik ini." Jawab Rebmann menghibur.

Perjalanan tiga hari tiga malam, di luar prediksi. Belum sampai malam, kapalnya telah berlabuh pada pesisir Afrika. Orang-orangnya berbeda dari kita. Bermata dan hidung yang berbeda dari kita. Segala yang dikenakan punya pengertian. Para pemuda bermain bola di lapangan bebas terbuka mengenakan jins pendek simbol pembebasan.

"Inilah benua aneh yang tak meluputkan seorangpun tanpa meninggalkan bekas yang mendalam bagi setiap mereka," batin Krapf dalam melafal lirik lapar. 

"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Rebmann.

"Mempertobatkan," jawab Krapf singkat.

Pewartaan atau tepatnya kritenisasi di Afrika bukanlah yang pertama. Banyak yang sudah kristen di bawah klerus. Hanya para klerus tak biasa dengan administrasi. Ada dijumpai pernak-pernik benda-benda kudus. Singkatnya ada sebagian masyarakat yang sudah kristen.

"Kami telah menunggu kalian lama," ujar Yaks guru agama yang dituakan di kampung.

"Maksudnya kami merindukan kedatangan kalian", Yaks kembali memperbaiki kalimatnya.      

"Terimakasih," jawab dua misionaris mencoba akrab.

"Bagaimana perjalanannya?" Yaks kembali bertanya sambil membopong barang bawaan ke dalam rumah setengah tembok.

"Sedikit melelahkan, tapi puji Tuhan kami tiba dengan selamat," jawab Krapf yang lebih extrofert.

"Bapak, makan malam kita telah siap," bisik seorang gadis mewakili tim pemasak di dapur pastoran.

"Bagus. Ayo kita makan," Yaks mengajak kedua misionaris untuk santap malam.

"Makanannya kelihatan aneh, tapi kalau sudah di lidah pasti mau lagi."

"Mungkin kita perlu berdoa sebelum makan," tegur Rebmann mencoba sesantun mungkin.

"Bapa kami yang ada di Sorga, dikuduskanlah namamu," pimpin Rebmann yang langsung disambung oleh Yaks dan Krapf pun gadis-gadis di dapur.

Seolah telah lama tidak berdoa. Ada yang mengucapkan batah. Kadang salah. Para gadis di dapur lebih pelan. Mungkin takut salah. Mungkin belum melafal dengan baik. Atau mungkin karena khusud berdoa.

Malam yang umumnya sunyi ditemani nyanyian jangkrik tidak mendekap perjamuan malam itu. Nikmatnya makanan khas tradisional Mozambik ayam piri-piri dengan rempah yang harum membuat kedua misionaris asing tadi merasa makan di rumah sendiri. Belum lagi Nasi Jollof yang pedasnya membuat tubuh berkeringat seakan mencangkul pekarangan rumah.

"Mereka tak seaneh yang kubayangkan. Tuhan terimakasih," batin Krapf sambil terus mengunyah.

"Yang ini apa?" tanya Rebmann sambil menunjuk potongan tart di meja.

"Ini melktert, semacam milk tart kalau di Jerman," ujar Yaks menjelaskan.

"Ini makanan khas kalian?" Krapf menambahkan.

"Sebenarnya tidak. Ini khas Afrika Selatan"

"Wow! Tekturnya jauh lebih halus dan ringan," Krapf kembali bicara.

"Iyah. Biasanya bagian atasnya ditaburi kayu manis. Melktert ini biasanya dijadikan makanan penutup," jelas Yaks sambil tersenyum.   

"Kau pandai dalam menjelaskan makanan?"

"Saya dulunya pemasak untuk para pastur Perancis," kenang Yaks.

Usai jamuan malam, tiga orang itu pun mulai berpisah menuju peristirahatan. Krapf dan Rebmann masih satu kamar. Yaks bersama umat sekitarnya menyiapkan tikar dengan selimut yang berat-hangat.

"Semoga mimpi indah yang tidak pernah orang lain dapat," ujar Yaks mengucap salam khas Afrika.

"Terimakasih Yaks," ujar Krapf sambil tersenyum lebar.

"Aku merindukan kasur?" Krapf menggerutu.

"Sudahlah. Kasur tak cocok di tempat ini. Udaranya, malamnya, harum alamnya, desau angin pun kunang-kunang yang meliuk-liuk papan kayu,....hhhh aku berpuisi." jawab Rebmann sambil tertawa.

"Yah tikar lebih cocok untuk di sini," Krapf berusaha menyimpulkan.

"Mengapa kamu tidak berbicara banyak sewaktu makan?" tanya Krapf.

"Kalau semua bicara siapa yang mendengarkan."

"Bukan itu maksudku. Setidaknya kamu bicara barang sekata," Krapf menimpali.

"Aku hanya bermenung. Apa yang akan kukatakan esok saat jemaat berkumpul." kata Rebmann pelan dan murung.

"Kamu lihat, mereka memperlakukan kita seperti Raja."

"Benar, tapi kita makan seperti rumah kita sendiri," jawab Rebmann kesal.

"Apa maksudmu?" tanya Krapf tegas.

"Sudahlah! Beristirahatlah. Jangan lupa bangunkan aku besok."

"Hemm" Krapf hanya mendehem tak iklas.

Malam kian larut. Begitu gelap permukaan bumi dan di langit panorama bintang-bintang menjadi etalase agung galaksi. Di padang gurun yang luas, keindahan langit disulam cahaya aorora meliuk-liuk seperti lampu sorot pada tetaer Las Vegas-- memantulkan cahaya ular-ular yang merayap pelan dan licik tanpa suara menghirup urin di pasir bekas kaki pelancong. 

Di sudut yang lain, gemuruh ombak Segitiga Permuda melantunkan nyanyian pemberontakan, mengaburkan siluet-siluet batu karang yang jauh lebih tegar dari baja Menara.  

"Tuhan terimakasih," doa Krapf dalam hati.

"Tidak..tidak." teriak Rebmann barang baru setengah jam tidur.

"Hei! Reb ada apa? Aku di sini!" kata Krapf sembari berusaha membangunkan Rebmann.

"Aku...!"

"Kamu kelelahan," kata Krapf menyentuh pundak Rebmann.

"Tuhan datang pada-ku. Aku haus, katanya lesuh."

"Tidurlah lagi. Kamu hanya kecapaian. Biar kuambilkan air untukmu."

"Krapf!" panggil Rebmann.

"Ada apa?" jawab Krapf iba.

"Danke!"

Krapf tersenyum lalu melangkah keluar kamar berusaha menemukan pelita yang menuntunya menuju dapur.

"Ada apa," tanya Yaks yang tiba-tiba sedang duduk di ruang tamu.

"Sedang apa kau di sana? Kamu tidak tidur?" tanya Krapf was-was.

Baru ia sadari ternyata di ruangan itu banyak orang sudah berkumpul. Entah apa yang mereka mau lakukan malam-malam begini. Melihat imam barunya? Menjaga mereka tidur? Atau apa, Krapf tak tahu. Ia hanya terdiam takut namun berusaha tegar.

"Tempat ini agak aneh." batin Krapf

"Ada apa?" tanya Rebmann yang menyusul Krapf keluar.

"Kalian sedang apa? Kenapa banyak orang di sini?" tunjuk Rebmann pada orang-orang seisi ruangan.

"Kami hanya menjaga keamanan Anda sekalian dari orang-orang Warabai," seru seorang ibu yang tengah menyusui anaknya yang berumur barang setahun lebih.

"Siapa mereka," tanya Rebmann gelisah.

"Pengacau," jawab wanita itu tajam namun singkat.

"Saya masih belum paham," ujar Krapf.

"Besok Mereka juga akan beribadat bersama." Yaks meluruskan.

"Mereka jemaat kita?" timpal Krapf.

"Iyah hanya berisiko."

"Tuhan datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang," terang Rebmann tegas.

Hari baru telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu. Di luar semua umat telah hadir, dan sekelompok Warabai pun baru tiba. Banyaknya kaum wanita membuat ketakutan semalam hilang.

"Ternyata orang-orang Warabai tak seganas sebagaimana yang diceritakan semalam," batin Krapf

Doa berlangsung dengan tenang dan Rebmann sudah siap untuk membagi renungannya yang telah disiapkan baru pada jam tiga subuh.

"Saudara-saudaraku. Allah begitu mengasihi kita. Bahkan karena cintanya itu, Ia bahkan mengutus Putera-Nya yang tunggal."

Belum selesai kalimat pembukanya, di luar rumah sudah terjadi keributan. Dua orang ibu bertengkar ramai. Krapf berjalan keluar disusul Rebmann yang harus menghentikan kotbahnya karena pertengkaran itu.

"Tenang-tenang," Teriak Rebmann berusaha menenangkan situasi sementara Krapf langsung menarik seorang ibu untuk melerai pertengkaran.

"Kenapa kalian ini. Kita sedang berdoa," ujar Rebmann kesal.

"Ceritakan apa yang terjadi!"

"Kami tidak membutuhkan Putra untuk tahu bahwa Allah mengasihi kami. Kami mengenal Allah adalah kasih, karena Ia memberi kami kehidupan, makanan, minuman, bahkan pakaian untuk anak-anak kami." protes Ibu Warabai tadi.

"Jadi ini yang kalian pertengkarkan?" bentak Krapf heran.

"Ya Tuhan ampunilah kami!"

"Kita salah Krapf. Kita bersalah. Gereja tidak seluas Eropa. Di luar Eropa, gereja tidak hanya dituntut mewartakan Kristus penyelamat yang diutus ke dunia sebagai bukti kasih Allah, melainkan pula Kristus sebagai gambaran Allah yang mau mengosongkan diri, terlibat sepenuhnya dalam peziarahan umat Allah, menangis bersama mereka yang berduka, dan tertawa bersama mereka yang bersuka."

"Yah kita bersalah!"

"Mungkin ini yang Tuhan tunjukan dalam penglihatanku semalam. Dia haus."

"Tutup mulutmu," seru Yaks yang tiba-tiba tampil di depan dan berbicara dalam bahasa yang tidak pernah dimengerti oleh kedua misionaris ini. Sebuah bahasa dengan nafas ilahi yang memancar jauh lebih terang dari cahaya matahari sewaktu terbit. Dan jauh lebih indah kala ia kembali terbenam.

Demikianlah kisah kedua Misionaris perdana di Afrika Timur 1847. Layaknya Yevsey Klimkof yang iba terhadap setan di tangan santo Mikael, Kraof dan Rebmann menyamakan diri dengan Yesus di hadapan musuh pun sahabat-sahabat-Nya yang tidak pernah bisa memahami arti kehadiran-Nya.

Yogyakarta, 19 Desember 2017. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun