"Kami tidak membutuhkan Putra untuk tahu bahwa Allah mengasihi kami. Kami mengenal Allah adalah kasih, karena Ia memberi kami kehidupan, makanan, minuman, bahkan pakaian untuk anak-anak kami."Â protes Ibu Warabai tadi.
"Jadi ini yang kalian pertengkarkan?" bentak Krapf heran.
"Ya Tuhan ampunilah kami!"
"Kita salah Krapf. Kita bersalah. Gereja tidak seluas Eropa. Di luar Eropa, gereja tidak hanya dituntut mewartakan Kristus penyelamat yang diutus ke dunia sebagai bukti kasih Allah, melainkan pula Kristus sebagai gambaran Allah yang mau mengosongkan diri, terlibat sepenuhnya dalam peziarahan umat Allah, menangis bersama mereka yang berduka, dan tertawa bersama mereka yang bersuka."
"Yah kita bersalah!"
"Mungkin ini yang Tuhan tunjukan dalam penglihatanku semalam. Dia haus."
"Tutup mulutmu," seru Yaks yang tiba-tiba tampil di depan dan berbicara dalam bahasa yang tidak pernah dimengerti oleh kedua misionaris ini. Sebuah bahasa dengan nafas ilahi yang memancar jauh lebih terang dari cahaya matahari sewaktu terbit. Dan jauh lebih indah kala ia kembali terbenam.
Demikianlah kisah kedua Misionaris perdana di Afrika Timur 1847. Layaknya Yevsey Klimkof yang iba terhadap setan di tangan santo Mikael, Kraof dan Rebmann menyamakan diri dengan Yesus di hadapan musuh pun sahabat-sahabat-Nya yang tidak pernah bisa memahami arti kehadiran-Nya.
Yogyakarta, 19 Desember 2017.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H