Biasanya selembar sarung bila dijual dipasar seharga 400 ribu sampai 600 ribu. Padahal kalau kita melihat prosesnya yang sulit, berbelit-belit dan memakan waktu yang lama rasanya tidak adil. Karena saya pun pernah terlibat dalam proses pembuatannya.
Melihat ketidakwajaran ini, saya berinisiatif untuk memasarkan sarung-sarung Ibu Selvi melalui media sosial.
Hal ini karena keterbatasannya teknologi dan media sosial. Dan untungnya ada kerabat dan kenalan yang merasa tertarik untuk membelinya.
Kemudian sebagain besar uang hasil penjualan sarung itu diberikan kepada adiknya untuk membayar uang kuliah.
Ibu Selvi adalah salah satu sosok dari ribuan perempuan Palue bahkan perempauan Nusa Tenggara Timur dalam hal bertenun.
Ibu Selvi adalah wakil dari perempuan tangguh yang menjadi jangkar ekonomi dalam keluarga ketika ketika amukan Gunung Rokatenda dan covid-19 melanda.
Tidak bermaksud melebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa Ibu Selvi menjadi salah seorang saksi dan penjaga tradisi serta budaya orang-orang NTT.
Dengan demikian dari keringatnya, buah karyanya turut membungkus tubuh presiden saat perayaan peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 75.
Tahun berlian Indonesia sudah bercahaya di Istana dengan karya perempuan NTT namun kesejahteraan mereka masih dalam deretan pertanyaan yang belum terjawab tuntas.
Entah kapan perempuan terus dianggap kelompok kelas dua dan sampai kapan kesejahteraan ekonomi orang-orang NNT diperhitungkan?
Jujur, kami belum matang dan mandiri secara ekonomi walau Indonesia telah berumur berlian ditahun ini. Kami masih terbelakang walau karya kami terpampang di depan istana, di depan mata rakyat Indonesia dan dunia. Kami menunggu dan akan terus menunggu karena kami juga adalah Indonesia.