Lalu dibawahlah kehadapan raja sebuah pedang tajam, warisan leluhur yang begitu keramat. Dengan suara dan nada yang tegas dan lantang, kata raja kepada pengawalnya, belahlah anak yang hidup itu menjadi dua bagian kemudian berilah setengahnya kepada perempuan yang satu dan setengahnya untuk perempuan yang lain itu.
Maka timbullah belas kasihan atas anak itu dari perempuan pertama itu, katanya: Yang Mulai, ku mohon janganlah membunuh anak tapi berikanlah anak yang hidup itu kepada perempuan itu. Tetapi perempuan yang lain itu berkata: suapay jangan untukku dan untukmu, biarkanlah pedang raja menyatakan kebijaksaan atas anak itu.
Lalu raja kata kepada pengawalnya., beriknlah bayi yang hidup itu kepada perempuan pertama dan janganlah membunuh anak itu sebab perempuan itu ibunya.
Kisah ini kemudian bergemah luas diseluruh istana. Dan semua rakyat mengagungkan keputusan dan pilihan raja. Pedang sebagai warisan pusaka para leluhur tanda peperangan kini mengambil logika terbalik yakni sebagai jalan tengah untuk menguak kebenaran.
Itu keadilan. Pedang mengakhiri penderitaan. Pedang membantu raja membelah antara kebenaran dan kepalsuan. Pedang memutuskan ikatan antara penderitaan dan kebahagiaan dan memberi ruang pada kebebasan. Â Itu kebijaksanaan pedang.
Dari blog pribadi, azzura.xyz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H