Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kebijaksanaan Pedang

14 April 2020   22:00 Diperbarui: 14 April 2020   22:11 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari cahaya bangsa.blogspot.com

Berikanlah bayi yang hidup itu kepada perempuan pertama dan janganlah membunuh anak itu sebab perempuan itu ibunya.

Kini tragedi kerajaan mulai mewabah. Tercium jelas aroma kebusukan dan kerakusan. Kelopak terasa pedih oleh panorama yang terhias dengan keangkuhan dan kebengisan. Penghuni kerajaan ditawan kegelisahan. Hidup yang teranugerah harus dihadapkan pada pilihan.

Setiap pilihan adalah kematian untuk membenarkan. Kebenaran ibarat pedang yang siap merajam demi memperkokoh keberadaan. Istana kini berwajah darah. Pemerintahan kejam mengantar penghuni pada kedukaan bisu. Tanpa kata. Diam. Semua hanyut dalam lembah ketakutan karena darah dan kematian selalu membayangi suasana.

Pekikan keadilan terselubung dibalik kekalutan. Terbungkus rapi dalam nada dan suara yang tak terlontarkan. Tawa para petinggi istana menggelegar namun nyanyian para penduduk senduh melarat. Mereka yang terpinggirkan itu harus menggali asa dan menuainya diujung jalan ketidakpastian.

Berjalan sambil menangis menjadi moto perjuangan dalam menyusuri kemegahan kota penuh janji yang entah sampai kapan berdiam di dada mereka. Mereka orang-orang berkuasa. Mereka mempunyai pilihan untuk menempatkan raja pada kursi kemegahan itu.

Namun mereka terpinggirkan oleh kebodohan yang terus menghimpit ke jalan kegersangann. Mereka adalah pemenang. Mengapa terlihat seperti orang-orang kalah? Bukankah itu kebodohan? Dan kebodohan telah menyudahi kebahagiaan yang seharusnya akrab dengan urat nadi mereka.

Penghuni kerajaan yang malang itu mungkin telah dimabukan dengan janji-janji palsu sehingga mereka lengah menentukan pilihan. Mereka terbius oleh pekikan slogan busuk lagi munafik yang nyaring menggema namun hampa.

Mereka terlalu dini untuk pasrah pada guyonan sang tangan besi yang kini menggiring mereka pada langit tanpa harapan. Asa mereka terlalu cepat diletakan pada pundak yang lumpuh dan tak mampu memikul. Lemah. Pada telinga yang tak mampu mendengar. Pada hati yang tak mampu merasa. Pada kaki yang tak mampu beranjak. Pada pikiran yang tak mampu menuntun lagi mengakhiri penderitaan. Pada suara yang tak bisa bergaung. Pada mata yang lebih melihat keriaan pementasan negeri daripada mencari kealpaan orang-orang kalah. Dan pada jiwa yang haus yang tak mampu menyelamatkan.

Kepercayaan mereka terarah pada raja yang belum habis membangun dirinya sehingga pemerintahannya hanya pada kepentingan diri. Asa dipasung. Semakin lama mereka dicekam pada kekerdilan dan mati karena kebodohan dalam memilih. Kini logika pilihan mendera mereka. Pilihan menyelamatkan juga mematikan.

Terlahir dalam lingkup peperangan. Ada kepastian bahwa hidup akan senantiasa digiring ke arena pembataian. Dididik dalam nuansa persaingan terlihat jelas kengerian dalam mengadu kekuatan. Diasuh dalam situasi kekerasan mengantar mereka menutup hati tuk merasakan kelembutan belas kasih dan cinta. Diasa pada alam tanpa kata tidak mencuat dalam diri mereka kejelihan untuk membedakan kebenaran dan kepalsuan. Diasi lagi ditegarkan dengan keriuhan cerita kekejaman generasi silam membuat mereka lupa akan kedamaian. Yang tak terlupa bahwa generasi mewartakan kepahitan.

Generasi mewarisi pedang. generasi membuat monumen dan prasasti timbangan untuk mengukur keadilan yang telah karat dan tak terpakai karena berat sebelah. Generasi menyuguhkan anggur dan roti yang telah basih. Generasi menciptakan penjara sehingga lebih mengungkung kebebasan.

Generasi menabiskan sejarah yang harus mereka lalui dengan darah dan tangis air mata. Generasi lebih menyediakan arena pertarungan daripada rahim lembut tempat tumbuhnya benih-benih kehidupan. Generasi yang hanya mempunyai andil untuk mengambil daripada memberi. Korupsi.

 Generasi meninggalkan air mata yang kini terpaksa terus dialirkan pada belahan mata yang mungkin tidak seharusnya menangis.   

Generasi bergulir. Tampuk kepemimpinan berganti. Keemasan takta terlihat agung namun masih terbalut kegagalan dan rasa sesal didalam kalbu mengalir bersama tetesan darah. Nafas kebebasan masih terenyak sendat diserambi batin.

Bagaimana masa depan dan tunas bangsa itu harus dirawat? Yang pasti bahwa luapan tragedy dan dahsyatnya persoalan harus mengambil tempat dipundak para penghuni negeri itu.

Walau terlihat terseret beban namun mereka harus berlajan. Karena demikian kehidupanlah yang terus memaksa mereka untuk bergerak maju. Berhenti berarti mati. Sehingga mereka mampu menyelami arti suatu pendakian hidup.

Bahwa hidup bukanlah pilihan seperti halnya mereka memilih para pembesar yang telah mencemari generasi. Namun hidup adalah rahmat yang terberi, anugerah yang tercurah yang dihiasi berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mengharuskan untuk memilih. Sehingga logika pilihan hari ini bisa menyembuhkan luka masa lalu dan sandaran untuk memperbaiki masa kini serta terus berjuang tuk hari esok dengan penuh perhatian.

Mungkin dengan begitu kesakitan bisa diobati. Air mata bisa terhapus. Pilihan mengubah segalanya. Karena itu pilihan akrab pada kebijaksanaan. Kebijaksanaan karib pada raja. Dan raja yang seperjalanan dengan rakyat, mampu membuat teduh amarah dan tenangkan badai ketakutan rakyat.

Suasana hening ketika raja berdiam diatas takta kemegahannya. Para penjaga berbaris rapih. Dayang-dayang kerajaan terlihat tenang. Semua mata dan harapan terarah pada paduka yang baru yang akan menakodai pengarungan negeri itu.

Tak lama kemudian, masuklah dua orang perempuan sundal menghadap raja. Kesundalan itu adalah titisan hari kemarin yang hadir saat ini sebagai didikan sekaligus bencana. Itu lambang utuh akan carut-marutnya kehidupan rakyat kemarin.

Dihadapan yang mulia, perempuan yang pertama berkata,

Ya Tuanku, aku dan perempuan ini berdiam dalam satu rumah ketika aku melahirkan seorang anak dan pada hari kedua ia pun melahirkan anaknya. Kami sendirian. Tak ada orang lain. Hanya kami berdua.

Pada waktu malam ketika aku lelap dalam pembaringan bersama anakku, perempuan ini bangun dan mengambil anakku dari sampingku.

Lalu ia menempatkan anaknya dipangkuanku. Ketika fajar menyingsing, aku pun bangun untuk menyusui anakku namun  aku mendapatinya dalam keadaan tak bernyawa. Aku menangis. Aku menyesal karena aku gagal menjaga harta yang satu-satunya ku punyai itu. Namun setelah ku amat-amati dia, ku lihat bukan dia anak yang ku lahirkan.

Bukan!!!!

Jawab perempuan yang lain,

Yang Mulai Rajaku, aku tidak melakukan apa seperti yang  dikatakan perempuan itu. Anakkulah yang yang hidup itu dan anak perempuan itulah yang telah mati.

Namun sahut perempuan pertama itu, bukan!!!

Anaknya yang mati dan anaknya yang telah mati.

Begitulah kedua perempuan itu bertengkar dihadapan Sang Raja. Suasana kerajaan terlihat gaduh. Raja masih diam. Mungkin Raja sedang menimbang perkara yang telah tersaji dihadapannya.

Lalu kata Raja kepada seorang pengawal, katanya:

Ambilkanlah aku sebuah pedang.

Lalu dibawahlah kehadapan raja sebuah pedang tajam, warisan leluhur yang begitu keramat. Dengan suara dan nada yang tegas dan lantang, kata raja kepada pengawalnya, belahlah anak yang hidup itu menjadi dua bagian kemudian berilah setengahnya kepada perempuan yang satu dan setengahnya untuk perempuan yang lain itu.

Maka timbullah belas kasihan atas anak itu dari perempuan pertama itu, katanya: Yang Mulai, ku mohon janganlah membunuh anak tapi berikanlah anak yang hidup itu kepada perempuan itu. Tetapi perempuan yang lain itu berkata: suapay jangan untukku dan untukmu, biarkanlah pedang raja menyatakan kebijaksaan atas anak itu.

Lalu raja kata kepada pengawalnya., beriknlah bayi yang hidup itu kepada perempuan pertama dan janganlah membunuh anak itu sebab perempuan itu ibunya.

Kisah ini kemudian bergemah luas diseluruh istana. Dan semua rakyat mengagungkan keputusan dan pilihan raja. Pedang sebagai warisan pusaka para leluhur tanda peperangan kini mengambil logika terbalik yakni sebagai jalan tengah untuk menguak kebenaran.

Itu keadilan. Pedang mengakhiri penderitaan. Pedang membantu raja membelah antara kebenaran dan kepalsuan. Pedang memutuskan ikatan antara penderitaan dan kebahagiaan dan memberi ruang pada kebebasan.  Itu kebijaksanaan pedang.

Dari blog pribadi, azzura.xyz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun