Generasi mewarisi pedang. generasi membuat monumen dan prasasti timbangan untuk mengukur keadilan yang telah karat dan tak terpakai karena berat sebelah. Generasi menyuguhkan anggur dan roti yang telah basih. Generasi menciptakan penjara sehingga lebih mengungkung kebebasan.
Generasi menabiskan sejarah yang harus mereka lalui dengan darah dan tangis air mata. Generasi lebih menyediakan arena pertarungan daripada rahim lembut tempat tumbuhnya benih-benih kehidupan. Generasi yang hanya mempunyai andil untuk mengambil daripada memberi. Korupsi.
 Generasi meninggalkan air mata yang kini terpaksa terus dialirkan pada belahan mata yang mungkin tidak seharusnya menangis.  Â
Generasi bergulir. Tampuk kepemimpinan berganti. Keemasan takta terlihat agung namun masih terbalut kegagalan dan rasa sesal didalam kalbu mengalir bersama tetesan darah. Nafas kebebasan masih terenyak sendat diserambi batin.
Bagaimana masa depan dan tunas bangsa itu harus dirawat? Yang pasti bahwa luapan tragedy dan dahsyatnya persoalan harus mengambil tempat dipundak para penghuni negeri itu.
Walau terlihat terseret beban namun mereka harus berlajan. Karena demikian kehidupanlah yang terus memaksa mereka untuk bergerak maju. Berhenti berarti mati. Sehingga mereka mampu menyelami arti suatu pendakian hidup.
Bahwa hidup bukanlah pilihan seperti halnya mereka memilih para pembesar yang telah mencemari generasi. Namun hidup adalah rahmat yang terberi, anugerah yang tercurah yang dihiasi berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mengharuskan untuk memilih. Sehingga logika pilihan hari ini bisa menyembuhkan luka masa lalu dan sandaran untuk memperbaiki masa kini serta terus berjuang tuk hari esok dengan penuh perhatian.
Mungkin dengan begitu kesakitan bisa diobati. Air mata bisa terhapus. Pilihan mengubah segalanya. Karena itu pilihan akrab pada kebijaksanaan. Kebijaksanaan karib pada raja. Dan raja yang seperjalanan dengan rakyat, mampu membuat teduh amarah dan tenangkan badai ketakutan rakyat.
Suasana hening ketika raja berdiam diatas takta kemegahannya. Para penjaga berbaris rapih. Dayang-dayang kerajaan terlihat tenang. Semua mata dan harapan terarah pada paduka yang baru yang akan menakodai pengarungan negeri itu.
Tak lama kemudian, masuklah dua orang perempuan sundal menghadap raja. Kesundalan itu adalah titisan hari kemarin yang hadir saat ini sebagai didikan sekaligus bencana. Itu lambang utuh akan carut-marutnya kehidupan rakyat kemarin.
Dihadapan yang mulia, perempuan yang pertama berkata,