Seusai maghrib aku membuatkan ayah kopi dan membawa beberapa gorengan yang ibu siapkan. Ayah sedang duduk di dipan sekarang, menghabiskan rokoknya.Â
Suara jangkrik mulai terdengar saling bersahutan. Udara dingin daerah persawahan semakin membuat suasana desa terasa kental.
"Ini kopi hitam tanpa gula khusus Ira buatkan untuk Ayah."
Ayah tersenyum kecil, guratan di wajahnya semakin nampak jelas. Aku tersenyum samar, beliau sudah tua tapi masih tetap semangat mencari uang untuk kami -- aku dan ibu.
"Masuk sana, di sini banyak nyamuk! Bisa merah-merah nanti badan anak ayah ini," ayah mengambil gorengan dan memakannya perlahan sambil meminum kopi. Rokoknya baru saja habis. Ayah memang merokok, tapi tidak sering. Sesekali saja.
Aku menggeleng, "Ira mau di sini dulu, menemani Ayah sebentar."
Kalau diingat-ingat, sudah cukup lama aku tidak menemani ayah seperti ini. terakhir kali saat usiaku masih sebelas tahun, sekarang sudah menginjak enam belas tahun.
Nampak ayah terdiam. Suasana semakin hening. Suara padi-padi diterpa angin terdengar jelas. Desiran halus suara alam, aku menyukainya.
"Panennya berapa lama lagi, Yah?" pertanyaan itu cukup memecah suasana.
Ayah menyesap kopinya, "Kurang lebih dua minggu lagi, Nak."
Aku menatap dahi ayah cukup lama. Teringat ketika ia berada di sawah. Keringat bercucuran di sana. Sering kudapati keringat itu masuk di matanya, tapi ia abaikan. Hanya menyekanya sesaat. Kemudian melanjutkan lagi mengurus padi-padi. Padahal aku tahu itu perih.
Dari menggarap sampai dengan memanen, tidak pernah sekalipun aku melihat ayah putus asa. Apalagi sampai mengeluhkan keadaan. Padahal itu bukan sawah kami, ayah bekerja untuk orang lain. Bayarannya tidak seberapa, tapi cukup untuk makan dan beberapa keperluan kecil lainnya.
Dulu ketika aku masih senang bermain, di tengah kesibukannya di sawah ia masih sempat memperhatikanku, khawatir aku jatuh dan terluka.
Jangan lari-lari, Nak. Jalannya licin. Ia berteriak menoleh padaku tetapi tangannya tetap sibuk dengan padi-padi itu.
"Ayah pasti capek, Ira pijit ya!" tanpa menunggu persetujuannya, aku sedikit berjongkok di belakang ayah. Menggunakan kedua lutut sebagai tumpuan.
"Tidak perlu, Nak. Ayah tidak apa-apa." Dengar katanya, ia sedang berdusta sekarang. Padahal sering kudapati ayah memijat badannya sendiri. Seharian bekerja di sawah, ladang yang luas bertabur lumpur, di bawah terik matahari pula. Bagaimana bisa ia mengatakan tidak apa-apa?
Aku tidak peduli ayah mencegah. Langsung kupijat pundaknya pelan.
Semakin kurus kurasa. Pundak ini yang memikul banyak beban demi kami. Dengan semangat yang luar biasa ia melakukannya. Dengan ikhlas ia menanggung semuanya.
Dari jarak seperti ini, aku baru saja menyadari bahwa kulit ayah nampak gelap. Pasti ini karena terlalu sering terpapar sinar matahari. Di sawah juga sering kudapati baju ayah basah oleh keringat. Ayah sosok yang sangat hebat.
"Sudah, Nak. Ke sini sebentar!" Ayah menepuk-nepuk papan di depannya. Mengisyaratkan padaku untuk duduk di sana.
Segera aku daratkan bokong ini. Pria tegar kebanggaanku sedang menatap dalam. Ada kegelisahan di mata sayu itu. Aku meneliti setiap bagian wajahnya.
Tidak terasa, butiran bening lolos begitu saja. Entah bagaimana aku menjelaskan. Tapi sungguh, melihat ayah menatap seperti ini membuat sesuatu dalam diriku terombang-ambing. Bahkan nyamuk yang hinggap di badan sudah tidak aku hiraukan.
Tatapan itu menciptakan sebuah pertanyaan, bagaimana hidupku jika tanpa dirinya?
"Kenapa menangis, Nak?" tangan ayah terulur menghapus air mata ini.
Kasar tangannya seolah sedang menjelaskan, bahwa ia sudah bekerja sangat keras. Hal itu justru semakin membuat air mata ini semakin luruh.Â
Ayah, harus bagaimana lagi aku mengungkapkan rasa bangga ini padamu? Harus bagaimana lagi menjelaskan bahwa aku begitu menyayangimu?
Aku menggeleng pelan berusaha menahan isakan. Dengan cepat aku berhambur memeluk tubuh renta itu. Ayah mengelus belakangku dengan sayang sambil terus mengatakan, jangan menangis, tidak akan ada apa-apa.
Dengan langkah tertatih, ayah membawaku masuk. Ada ibu di ambang pintu, rupanya ia melihat aku dan ayah, mungkin cukup lama. Atau bahkan sejak pertama kali aku duduk bersama pria kesayangan kami ini.
***
Mengingat masa-masa itu, membuat diri ini tidak mampu lagi menahan derasnya air mata. Aku melihat ibu datang menghampiri dengan langkah cepat. Ia sedikit berjongkok di hadapanku.
"Ibu ...." Bergetar suara ini menyebut namanya. Kupeluk tubuh itu dengan erat.
"Ada apa, Nak?" Ibu mengelus belakangku menenangkan, seperti ayah dulu. Tiga tahun lalu.
Padi-padi sudah menguning dan ini panen kesekian yang aku lewatkan tanpa ayah. Sekali lagi, aku ingin merasakan masa-masa panen bersamanya. Merekam setiap apa yang ia lakukan, aku ingin mengenangnya.
"Ira rindu ayah, Bu,"
Masih terekam jelas bagaimana wajah ayah. Tersenyum padaku dengan begitu tulus, memeluk dengan hangat. Sekarang sudah tidak ada lagi. Dan aku sangat merindukan sosok dirinya saat ini, di tempat ini.
"Sabar, Nak," suara ibu bergetar. Aku tahu ia pun sedang menangis sekarang.
Tuhan, aku titip ayah pada-Mu, peluk ia selalu. Sosoknya sangat berharga bagi kami. Dan tolong katakan padanya, aku dan ibu begitu merindukan dirinya. Aku titip rindu ini untuknya, Tuhan.
-Ayah, berat hidup tanpamu.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H