Mohon tunggu...
ana Mhi
ana Mhi Mohon Tunggu... Freelancer - Wanita dengan keseharian biasa saja

Suka kopi dengan khas pahitnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Titip Rindu untuk Ayah

12 September 2022   20:07 Diperbarui: 12 September 2022   20:06 1281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com/sasint


Aku menatap dahi ayah cukup lama. Teringat ketika ia berada di sawah. Keringat bercucuran di sana. Sering kudapati keringat itu masuk di matanya, tapi ia abaikan. Hanya menyekanya sesaat. Kemudian melanjutkan lagi mengurus padi-padi. Padahal aku tahu itu perih.

Dari menggarap sampai dengan memanen, tidak pernah sekalipun aku melihat ayah putus asa. Apalagi sampai mengeluhkan keadaan. Padahal itu bukan sawah kami, ayah bekerja untuk orang lain. Bayarannya tidak seberapa, tapi cukup untuk makan dan beberapa keperluan kecil lainnya.


Dulu ketika aku masih senang bermain, di tengah kesibukannya di sawah ia masih sempat memperhatikanku, khawatir aku jatuh dan terluka.


Jangan lari-lari, Nak. Jalannya licin. Ia berteriak menoleh padaku tetapi tangannya tetap sibuk dengan padi-padi itu.


"Ayah pasti capek, Ira pijit ya!" tanpa menunggu persetujuannya, aku sedikit berjongkok di belakang ayah. Menggunakan kedua lutut sebagai tumpuan.


"Tidak perlu, Nak. Ayah tidak apa-apa." Dengar katanya, ia sedang berdusta sekarang. Padahal sering kudapati ayah memijat badannya sendiri. Seharian bekerja di sawah, ladang yang luas bertabur lumpur, di bawah terik matahari pula. Bagaimana bisa ia mengatakan tidak apa-apa?


Aku tidak peduli ayah mencegah. Langsung kupijat pundaknya pelan.
Semakin kurus kurasa. Pundak ini yang memikul banyak beban demi kami. Dengan semangat yang luar biasa ia melakukannya. Dengan ikhlas ia menanggung semuanya.


Dari jarak seperti ini, aku baru saja menyadari bahwa kulit ayah nampak gelap. Pasti ini karena terlalu sering terpapar sinar matahari. Di sawah juga sering kudapati baju ayah basah oleh keringat. Ayah sosok yang sangat hebat.


"Sudah, Nak. Ke sini sebentar!" Ayah menepuk-nepuk papan di depannya. Mengisyaratkan padaku untuk duduk di sana.


Segera aku daratkan bokong ini. Pria tegar kebanggaanku sedang menatap dalam. Ada kegelisahan di mata sayu itu. Aku meneliti setiap bagian wajahnya.


Tidak terasa, butiran bening lolos begitu saja. Entah bagaimana aku menjelaskan. Tapi sungguh, melihat ayah menatap seperti ini membuat sesuatu dalam diriku terombang-ambing. Bahkan nyamuk yang hinggap di badan sudah tidak aku hiraukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun