Tatapan itu menciptakan sebuah pertanyaan, bagaimana hidupku jika tanpa dirinya?
"Kenapa menangis, Nak?" tangan ayah terulur menghapus air mata ini.
Kasar tangannya seolah sedang menjelaskan, bahwa ia sudah bekerja sangat keras. Hal itu justru semakin membuat air mata ini semakin luruh.Â
Ayah, harus bagaimana lagi aku mengungkapkan rasa bangga ini padamu? Harus bagaimana lagi menjelaskan bahwa aku begitu menyayangimu?
Aku menggeleng pelan berusaha menahan isakan. Dengan cepat aku berhambur memeluk tubuh renta itu. Ayah mengelus belakangku dengan sayang sambil terus mengatakan, jangan menangis, tidak akan ada apa-apa.
Dengan langkah tertatih, ayah membawaku masuk. Ada ibu di ambang pintu, rupanya ia melihat aku dan ayah, mungkin cukup lama. Atau bahkan sejak pertama kali aku duduk bersama pria kesayangan kami ini.
***
Mengingat masa-masa itu, membuat diri ini tidak mampu lagi menahan derasnya air mata. Aku melihat ibu datang menghampiri dengan langkah cepat. Ia sedikit berjongkok di hadapanku.
"Ibu ...." Bergetar suara ini menyebut namanya. Kupeluk tubuh itu dengan erat.
"Ada apa, Nak?" Ibu mengelus belakangku menenangkan, seperti ayah dulu. Tiga tahun lalu.
Padi-padi sudah menguning dan ini panen kesekian yang aku lewatkan tanpa ayah. Sekali lagi, aku ingin merasakan masa-masa panen bersamanya. Merekam setiap apa yang ia lakukan, aku ingin mengenangnya.