Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Habituasi Multikarakter Keberbangsaan melalui Paradigma Pendidikan Dialogal

26 Oktober 2022   12:59 Diperbarui: 26 Oktober 2022   13:15 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ABSTRAK 

Reformasi bidang sosial politik sejak tahun 1998 memunculkan juga sikap anomali yang menggerus jati diri bangsa Indonesia. Identitas keindonesiaan bangsa ini semakin hari semakin meredup di tengah deburan gelombang globalisasi dan reformasi. Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (identitas nasional) sepertinya hanya dijunjung di atas kepala dan terasa "jauh  panggang  dari  api"  dalam  praksis  keindonesiaan. 

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional sejak tahun 2010, mendengungkan pendidikan watak atau karakter bagi anak-anak bangsa usia sekolah. Untuk mengakarkan multikarakter keberbangsaan melalui pendidikan, paradigma pendidikan dialogal dapat menjadi model aktivitas pembelajaran yang konstruktif dan suportif terhadap habituasi nilai-nilai keberbangsaan. Konsep pendidikan dialogal,  yang berporos pada kesederajatan martabat manusia,  dibangun di atas fondasi  (1) humanistik, (2) etika dan moral,  (3) demokrasi dan solidaritas sosial. Habituasi multikarakter melalui paradigma pendidikan dialogal, pada dasarnya, membangun kultur kesebangsaan yang kuat. Membangun kultur kesebangsaan berarti membiasakan setiap warga negara hidup dalam penghayatan yang baik dan benar terhadap nilai-nilai kehidupan. Semua komponen pelaksana pendidikan dibiasakan dengan nilai-nilai kehidupan bersama sebagai bangsa: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu yang positif, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, peduli sosial, peduli lingkungan, kritis, terbuka, adil, gotong royong,  dan menghargai jalan musyawarah dalam mengambil keputusan. 

Kata Kunci: habituasi, multikarakater, dan paradigma pendidikan dialogal

HABITUALIZATION  OF  NATIONAL MULTICHARACTER THROUGH THE DIALOG  PARADIGM OF EDUCATION

ABSTRACT 

Reformation in the political and social fields since 1998 also gave rise to the anomalous attitude that erode the national identity of Indonesia. Identity of indonesianization as a nation are getting increasingly dimming day in the middle of the edge of the wave of globalization and reformation. Pancasila and national motto Bhinneka Tunggal Ika (national identity) seems only to be accepted  in the top of the head and to be tasted "roast away from fire" in praxis  of indonesianization. Therefore, the Ministry of National Education, since 2010, blazed abroad character education for children of school age. To root the national multicharacter  through education, the dialog paradigm of education  can become a constructive and supportive learning activity models  towards habituation of national values. The concept of dialog education  which pivots on a aqual human dignity, built on a foundation of humanistic (1),  ethics and morals (2), democracy and social solidarity (3). Habitualization of national multicharacter through dialog paradigm of education, in essence, build a strong culture of nation. Building a culture of nation means familiarize every citizen to live in a good and true acceptation to values of life. All components of implementing education familiarized with values of life together as a nation: religious, honest, tolerance, discipline, hard work, creative, independent, democratic, positive curiosity, love of the fatherland, to appreciate the achievements, friendly, peace-loving, social care, care for the environment, critical, open, fair, mutual respect, and the deliberations in taking decisions.

Keyword: habitualization, multicharacter, and dialog paradigm of edukation

 

1.  Pendahuluan

Reformasi, yang sudah berjalan sepuluh tahunan, merupakan the third way (Giddens, 2000) kehidupan demokrasi sosial di Indonesia. Setelah Orde Lama (masa kepemimpinan Presiden Soekarno) dan Orde Baru (masa kepemimpinan Presiden Soeharto), gerakan reformasi tampil sebagai "jalan ketiga"  yang menuntut perubahan paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bidang: hak asasi manusia, pendidikan, kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan tekonologi informasi.    Dimensi-dimensi keberbangsaan dan kebernegaraan itu mulai ditata kembali dalam perspektif demokrasi dan globalisasi karena tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kita berubah di dalam waktu).

Namun demikian, reformasi bidang sosial itu memunculkan juga sikap anomali (Depdikbud, 1996: 47) sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada tingkat masyarakat, eforia reformasi meletupkan sikap ketidaksalingpercayaan antara suatu kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat yang lain, antara masyarakat dan institusi tertentu, antara masyarakat dan pemerintah, antara masyarakat dan implementasi konstitusi: undang-undang, hukum, peraturan, ketetapan, dan norma sosial. Akibatnya, begitu mudah masyarakat melakukan aksi demonstrasi,  yang  hampir pasti disertai tindakan anarkis, ketika keinginan atau aspirasinya tidak ditanggapi oleh pihak tertentu.

Identitas keindonesiaan bangsa ini semakin hari semakin meredup di tengah deburan gelombang globalisasi dan reformasi. Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (identitas nasional) sepertinya hanya dijunjung di atas kepala dan terasa "jauh  panggang  dari  api"  dalam  praksis  keindonesiaan.   Identitas  keindonesiaan mengalami refraksi implementatif menuju kondisi keterpurukan peradaban ber-Indonesia. Identitas keindonesiaan yang dibentuk oleh kesadaran diri  dan kesadaran akan  orang lain (eksistensi  yang koeksistensial)  sebagai  satu bangsa semakin terjebak  dalam keterpurukan yang desktruktif.  

Sinyalemen buruknya karakter dan rapuhnya jati diri bangsa itu serta merta dapat dibaca dalam berbagai peristiwa. Pada tingkat masyarakat terjadi tawuran antarpelajar atau antaramahasiswa, kerusuhan antardesa atau antara warga sipil dan aparat keamanan, perkelahian antarsuporter usai pertandingan sepak bola, dan kerusuhan yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Pada tingkat elite kepemimpinan bangsa,  sudah jamak terlihat dan terdengar tentang berbagai tindakan  KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Kepemimpinan sudah dilepaskan dari konteks moral karena pemimpin masih melekatkan diri pada konsep 'daulat pemimpin di atas daulat yang dipimpin'. Pada tingkat ideologi, dapat dirujuk dengan  hadirnya NII (Negara Islam Indonesia) dan terorisme yang setiap saat menghantui kehidupan masyarakat Indonesia. 

Kondisi masyarakat  Indonesia semacam itu digambarkan dan ditegaskan WS Rendra (Kompas 5 Maret 2008, "Pidato Penerimaan Gelar Honoris Causa bidang Kebudayaan", hlm. 12),  yang mengiyakan pendapat pujangga Ronggowarsito, sebagai kalatida dan kalabendu. Kalatida adalah zaman edan karena akal sehat diremehkan; sedangkan  kalabendu adalah zaman kehancuran dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan secara merata. Masyarakat Indonesia sedang menjadi masyarakat yang sakit, karena di satu pihak masyarakat Indonesia membutuhkan moralitas tetapi di lain pihak ia membuatnya mustahil; ia memunculkan dan menghancurkan pemahaman-pemahaman tentang moralitas (Poole, 1992: x). Realitas sosial masyarakat yang demikian semakin menjauhkan dinamika masyarakat Indonesia dari apa yang dinamakan Ronggowarsito sebagai kalasuba, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran multidimensional (Kompas 5 Maret 2008, "Pidato Penerimaan Gelar Honoris Causa bidang Kebudayaan", hlm. 12).

Realitas sosial yang semakin mengkonfigurasikan lemahnya watak anak bangsa  di  berbagai bidang kehidupan itu menyentak  pemerintah,  melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional sejak tahun 2010, mendengungkan pendidikan watak atau karakter bagi anak-anak bangsa usia sekolah. Lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, diharapkan  untuk mampu mendesain pembelajaran setiap mata pelajarannya dengan muatan karakter. Dengan memberi muatan karakter dalam setiap mata pelajaran, peserta didik diharapkan memiliki kekuatan moral dan etika sosial dalam pemaknaan hidup dan kehidupannya sebagai manusia otonom dan koeksistensif.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan, dalam berbagai ranah dan tingkatan, mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis. Pendidikan bukan hanya proses transmisi dan transformasi pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga proses memberikan akar dan sayap (Gleeson, 1997: 1) yang kuat kepada peserta didik. Memberikan akar dan sayap kuat untuk kehidupan kepada anak-anak muda bangsa berarti (1) memberi seperangkat nilai yang akan menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang tak terhindarkan, (2) memberikan kemampuan distingtif untuk membedakan mana yang pokok dan mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya dan mana yang hanya merupakan bayangan, dan (3) memberikan kekuatan yang kokoh untuk membeda-bedakan mana yang abadi dan mana yang hanya berupa mode.

Persoalan sekarang adalah bagaimana mengoperasikan aktivitas pendidikan sehingga mampu memberi akar dan sayap yang kuat kepada peserta didik?  Bagaimanakah peranan pendidikan dialogal dalam "memanusiakan manusia Indonesia" sehingga memiliki akar  multikarakter  keberbangsaan yang mampu memuarakan kesejahteraan bersama dalam bingkai jati diri bangsa Indonesia?

2.  Paradigma Pendidikan  Dialogal

Tidaklah salah jika dikatakan bahwa sejarah kehidupan manusia adalah dialektika antara kontinuitas dan diskontinuitas, kompetisi antara konsolidasi dan transformasi, suksesi antara order dan change; atau dalam definisi  Presiden Soekarno, sejarah adalah simfoni revolusioner  dari usaha menjebol dan membangun (Kleden, 1987: 214).   Jika  konsep  sejarah  ini diangkat  menjadi konsep pedagogik maka pendidikan adalah dialektika antara yang mendidik dan yang dididik,  antara yang mengatur dan yang diatur, antara yang mengarahkan dan yang diarahkan. Kedua unsur pendidikan ini sama-sama ada dan tidak dapat saling meniadakan.

Kesadaran dialektik kependidikan  semacam itu  mengandung signifikasi tertentu, yaitu relasi antara yang mendidik dan yang dididik bukanlah relasi alamiah yang mekanis, tetapi jaringan makna fungsional yang sangat lekat dengan realitas kebersamaan. Jaringan makna fungsional itu terwujud dalam apa yang disebut Habermas (Hardiman, 1992: 102-103) praksis, yaitu tindakan dasar manusia sebagai spesies. Menurut Habermas, ada dua macam praksis: kerja dan komunikasi. Kerja adalah tindakan dasar manusia terhadap alam untuk mencapai sebuah kesuksesan, sedangkan komunikasi adalah tindakan dasar manusia terhadap sesama manusia untuk mencapai pemahaman timbal-balik. Kedua dimensi praksis ini tidak dapat direduksikan satu sama lain.

Tanpa keinginan untuk mengesampingkan urgensi praksis kerja, praksis komunikasi merupakan basis pendidikan yang kontekstual  dengan derap perubahan zaman ini. Relasi antara yang mendidik  dan yang dididik adalah tindakan  komunikatif yang diarahkan pada pencapaian  pemahaman timbal-balik yang konstruktif  dalam proses pemanusiaan manusia muda agar menjadi manusia yang berkarakter. Tindakan komunikatif merupakan faktor sosial yang sangat menentukan sebuah integrasi sosial, yaitu pemeliharaan kesatuan dunia kehidupan sosial melalui nilai-nilai dan  norma-norma.  Integrasi sosial itu hanya akan menjadi sebuah proposisi (ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar tidaknya) jika nilai-nilai dan norma-norma sosial kemanusiaan tidak dapat dikomunikasikan secara bermartabat.

Tindakan komunikatif dalam ranah kependidikan itu mensyaratkan adanya hubungan dialogal antara yang mendidik dan yang dididik.  Hubungan dialogal  merupakan relasi kesederajatan antara komunikator dan komunikan berdasarkan argumentasi  martabat kemanusiaan yang melingkupinya; tidak mengenal  pola komunikasi top-down atau bottom-up atau pun distingsih formasi atasan dan bawahan yang biasa digunakan dalam kependidikan  struktural (politis) dan yang bersifat  hierarki  absolut.  Mengapa?   Karena  pendidikan  dialogal   tidak berporos pada dimensi kekuasaan subjek atas objek, tetapi  berporos pada martabat manusia untuk menyempurnakan kehidupan manusia itu sendiri melalui penyempurnaan dunia sekitarnya. Hal ini tidak berarti bahwa struktur atau hirarki sosial dalam ranah kependidikan tidak dibutuhkan. Struktur sosial selayaknya dipahami sebagai sarana pengoptimalan peran masing-masing komponen kependidikan dalam mewujudkan suatu tujuan pendidikan.  

Konsep pendidikan dialogal,  yang berporos pada kesederajatan martabat manusia,  dibangun di atas fondasi  (1) humanistik, (2) etika dan moral,  (3) demokrasi dan solidaritas sosial. Artinya, ketiga faktor ini menjadi syarat terciptanya pendidikan dialogal dalam dunia pendidikan. Secara negatif dapat dikatakan bahwa  pendidikan dialogal tidak akan berjalan sebagaimana mestinya jika tidak ada penghargaan terhadap martabat manusia, tidak ada penghormatan terhadap etika dan moral, serta tidak ada implementasi demokrasi dan solidaritas sosial.   

a.  Fondasi Humanistik

Pendidikan dialogal tidak dapat dipikirkan tanpa fondasi humanistik. Dinamika kependidikan ini dapat disebut bermartabat jika tumbuh dan berkembang dalam perspektif humanistik, yaitu melihat manusia sebagai pusat segala sesuatu dan yang memiliki kapasitas kemampuan yang kreatif, rasional, dan estetis untuk menyempurnakan diri. Dalam diri setiap manusia peserta didik terdapat keinginan yang perfektif:  "Suatu keinginan untuk menemukan sumber dan kriteria bagi apa yang baik, benar, dan indah dalam diri manusia. Keinginan ini mengandung suatu keyakinan, bahwa pada akhirnya setiap manusia harus memiliki sesuatu untuk dirinya sendiri dalam kebenaran dan kebaikan (To Thi Anh, 1985: 37)  Hal ini berarti bahwa pendidikan dialogal benar-benar mengapresiasi peserta didik sebagai  makhluk yang paling berharga.  Pendidikan dialogal tidak dapat mengurung kreativitas, rasionalitas, dan estetika yang dimiliki oleh masing-masing pribadi peserta didik.

Argumentasi filosofis pendidikan dialogal itu memang mau menegaskan bahwa aktivitas pendidikan harus bersumber dan bergerak dalam penghargaan terhadap martabat manusia, yaitu semua manusia diciptakan dengan martabat yang  sama serta dilengkapi dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak dapat  diganggu-gugat  oleh  kepentingan yang nonhumanistik. Kehidupan bersama dalam sebuah wadah sosial harus diarahkan pada pemeliharaan hak dan kewajiban manusia agar mampu menyempurnakan dirinya dan dunia sekitarnya.

Namun, kenyataan empiris dunia pendidikan di tanah air menunjukkan bahwa operasionalisasi pembelajaran masih kuat diwarnai praktik pendidikan tradisional, yang lebih berpihak pada peningkatkan kemampuan matematis dan bahasa serta penyampaian formal administratif daripada memberi ruang yang leluasa bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan hidup. Peserta didik cenderung  dianggap sebagai sebuah "botol kosong" yang harus diisi dan dipenuhkan dengan seribu satu liter "air" pengetahuan dan keterampilan yang disiapkan pendidiknya; semua potensi positif yang ada dalam diri peserta didik, termasuk motivasi diri dan gaya belajarnya, tidak terlalu diperhatikan pendidik sebagai kekuatan dahsyat untuk mencapai kesempurnaan diri peserta didik.

Menurut Barbara Prashing (1998: 29), semua manusia dalam berbagai usia dapat mempelajari apa pun apabila dibiarkan melakukannya dengan gaya unik yang sesuai dengan kekuatan pribadi melekat pada dirinya. Mereka akan lebih mampu menampilkan kinerja yang konsisten apabila kondisi bekerjanya sesuai dengan preferensi gaya individual mereka. Apabila keragaman manusia dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses belajar maka hasilnya akan positif: peserta didik akan merasa senang, memperoleh sensasi keberhasilan  meraih sesuatu tanpa frustrasi dan tres, mengalami peningkatan motivasi, dan selalu dapat mengendalikan proses belajar. Peserta didik yang melakukan aktivitas belajar dengan gayanya yang unik sudah pasti didak akan merasa   terbebani dalam mempelejari suatu materi pembelajaran.

Dalam perspektif humanistik,  pendidikan dialogal mengharamkan tindakan edukatif yang: (1) eksploitatif, yaitu memanfaatkan sumber daya peserta didik untuk kepentingan pendidik atau institusi pendidikan, (2) represif, yaitu memberi ruang terjadinya pengekangan dan penindasan yang menimbulkan kematian psikologis peserta didik yang dilakukan oleh pendidik atau institusi pendidikan, (3) tidak adil,  yaitu ketidaksamaan perlakuan terhadap peserta didik, baik dalam aspek  politik, hukum, ekonomi, kultural, dan ideologi maupun dalam pendampingan dan penilaian

peserta didik  dengan rasionalisasi kepentingan tertentu (Windhu, 1992: 113-118).

           

b.  Imperatif  Etika dan Moral

Paradigma pendidikan dialogal juga dibangun atas prinsip objektif (Tjahjadi, 1991: 71), yaitu prinsip yang atasnya orang harus bertindak untuk mencapai tujuan bersama. Sebuah model tindakan komunikatif dapat saja bersifat eksploitatif, represif, tidak adil, dan intimidatif jika mengabaikan prinsip objektif sebagaimana yang sering terjadi dalam paradigma pendidikan tradisional. Misalnya, pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai nasionalisme di sekolah tidak berjalan efektif karena peserta didik tidak menemukan sosok teladan. Selama ini ada kesan peserta didik merasa dibohongi. Mereka hanya mendengar materi pendidikan nilai: karakter yang baik, kejujuran, dan patriotisme, tetapi mereka gagal menemukan sosok teladan yang mampu mewujudkan nilai-nilai yang diajarkan itu. Para pemimpin masih terus sibuk dengan urusan diri dan kelompok politiknya yang tidak jarang terkooptasi dengan tindakan tidak terpuji.

Kondisi semacam itu dapat terjadi dalam tindakan pendidikan karena manusia  sebagai  pribadi  terkondisi  dalam ketidaksempurnaan  sehingga kerap kali jatuh lantaran mengikuti keinginan-keinginan tertentu atau dorongan-dorongan  yang irasional dalam dirinya. Artinya, manusia sering kali, karena kelemahannya, merelatifkan prinsip objektif dengan menjadikannya sebagai "sarana"  untuk mencapai tujuan tertentu secara subjektif. Hal ini bertentangan dengan prinsip objektif  yang mengharuskan orang untuk bertindak berdasarkan kaidah-kaidah objektif yang ada dalam suatu masyarakat, terlepas dari soal apakah disenangi atau tidak dan apakah menguntungkan atau merugikan keinginan-keinginan subjektif. Prinsip objektif adalah prinsip kesesuaian tindakan yang dipilih dengan kaidah kebenaran umum.

Oleh karena itu, paradigma pendidikan dialogal yang dibangun atas prinsip objektif memiliki "perintah keharusan"  atau imperatif  untuk melakukan tindakan yang  baik  atau  benar  dalam  takaran  etika  dan  moral  sebagai  penuntun  arah tindakan yang konstruktif terhadap perkembangan hidup kebersamaan. Menurut Immanuel Kant (Tjahjadi, 1991: 71-89),  semua imperatif memerintah manusia untuk melakukan suatu tindakan secara hipotesis (imperatif hipotesis) atau kategoris (imperatif kategoris). 

Imperatif hipotesis adalah perintah bersyarat karena adanya tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai; "jika mau X maka kamu harus melakukan Y."  Misalnya, jika seorang peserta didik menginginkan kelulusan pada ujian mata pelajaran tertentu, maka ia harus melakukan tindakan belajar terhadap mata pelajaran tersebut. Sementara itu,  imperatif kategoris adalah perintah yang menunjukkan suatu tindakan yang secara objektif mutlak perlu pada dirinya sendiri, terlepas dari kaitannya dengan tujuan lebih lanjut; ia melakukan tindakan ini atau itu karena baik dan benar secara hukum umum (formal), karena sesuai dengan nilai martabat kemanusiaan, dan karena sesuai dengan prinsip otonomi kehendak bebas manusia. Misalnya, seorang peserta didik tidak mau melakukan tindakan nyontek bukan karena takut ketahuan dan diberi sanksi, tetapi karena tindakan nyontek itu tidak benar atau salah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep "baik" dan "benar" adalah ruang perhelatan  etika dan moral. Jika paradigma pendidikan dialogal berlandastumpukan pada imperatif etika dan moral, persoalan  baik dan benar merupakan keharusan objektif dari  tindakan  komunikasi pembelajaran antara yang mendidik dan yang dididik. Yang mendidik dan yang dididik bergerak dalam horison etika dan moral yang sama untuk membangun karakter keberbangsaan. Kondisi ini akan merangsang munculnya klaim-klaim kesahihan yang rasional dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai konsensus tanpa paksaan: kebenaran, ketepatan,  kebaikan, dan kejujuran dalam kehidupan sosial.

c. Implementasi Demokrasi dan Solidaritas

Substansi paradigma pendidikan dialogal, akhirnya, bermuara pada persoalan demokrasi dan solidaritas. Demokrasi adalah suatu pola pemerintahan (baca: pendidikan) di mana kekuasaan untuk memerintah (memimpin) berasal dari mereka yang diperintah (dipimpin); atau, pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan (Yayasan Cipta Loka Caraka I,  1984: 173). 

Di dalam   paradigma pendidikan dialogal, demokrasi bukanlah sebuah ideologi yang lepas dari persoalan kehidupan konkret. Akan tetapi demokrasi adalah komunikasi rasional untuk mencari penyelesaian atas semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial atau the way of dealing with problem (Parera, Ed., 2001: 296), cara menyelesaikan soal, cara memecahkan teka-teki. Disebut komunikasi rasional karena yang mendidik dan yang dididik memiliki tingkat kesadaran untuk menghayati hidup dalam alam pikir dan timbang diri yang dipijakkan pada kejernihan akal budi untuk mempertanggungjawabkan  pilihan-pilihan dan keputusan hidup yang diambil oleh setiap manusia. Jadi,  daya yang menggerakkan komunikasi pendidikan itu bukan emosi, amarah, atau curiga (Sutrisno, 1994: 158).

Jika demokrasi ditangkap sebagai the way of dealing with problem, solidaritas sosial merupakan rantai persaudaraan dalam kehidupan bersama. Setiap pribadi yang terlibat dalam pendidikan dialogal tidak hadir sebagai sesuatu yang seragam, tetapi memiliki keunikan tertentu, seperti latar historis, kultural, fisikal, sosial, edukatif, keyakinan, dan cara pandang terhadap kehidupan ini. Keberagaman indentitas pribadi ini akan menjadi sebuah ancaman terhadap kehidupan bersama jika masing-masing pribadi tidak memiliki solidaritas sosial. Ketika individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah individu menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogyanya ia lakukan dan apa yang diharapkan orang lain (Makmun, 2007: 105).

Dalam konteks dialog, solidaritas akan mampu tumbuh jika diletakkan pada nilai cinta, kerendahan hati, harapan akan perubahan, dan kepercayaan yang kritis antara komunikator dan komunikan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam dialog harus menghindari sikap dominatif dan subordinatif. Jika hal itu dapat dilakukan maka akan terhindar dari sikap sadisme (tidak mengenal belas kasihan atau kejam) dan masokisme (kalau dicaci maki, ia senang karena dianggap sebagai pujian atau senang kalau disalahkan). Dengan mendasarkan diri  pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, dialog akan berkembang menjadi sebuah bentuk hubungan kesederajatan yang harmonis dan konstruktif terhadap perkembangan pribadi manusia yang berkomunikasi.

Paradigma pendidikan dialogal menempatkan demokrasi dan solidaritas sebagai "kerja mengorangkan" manusia agar menjadi manusia yang bermartabat sesuai dengan hakikat penciptaannya. Ketika yang mendidik mendengarkan pendapat orang yang dididik atau sebaliknya, masing-masing pribadi merasa benar-benar menjadi orang yang bernilai, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Apalagi ketika yang lemah, miskin, dan menderita disapa oleh yang lain, mereka merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bersama.

3.  Habituasi Multikarakter Keberbangsaan

Habituasi multikarakter keberbangsaan melalui pendidikan dialogal pada hakikatnya merupakan proses mengoptimalkan perubahan perilaku peserta didik, baik menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Perubahan itu pasti terjadi karena aktivitas pembelajaran selalu mengarah pada transformasi, interpretasi dan reinterpretasi, konstruksi dan rekonstruksi, revisi, dan penyempurnaan perilaku peserta didik. Artinya, aktivitas pembelajaran merupakan aktivitas subjek pembelajar, baik pendidik  maupun peserta didik, untuk terus-menerus bertanya dan mempertanyakan realitas diri dan dunia sekitarnya.

Paradigma pendidikan dialogal sebagai model pembelajaran dihadirkan sebagai jalan alternatif dari kekakuan yang selama ini "menganakemaskan" model ceramah.  Dalam model ceramah, peserta didik hanya tampil sebagai bejana kosong yang perlu diisi air oleh pendidik. Mereka hanyalah manusia hidup yang tidak diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Sebaliknya, sang guru atau pendidik tampil lebih feodalistik dan doktrinatif daripada sosok yang penuh cinta dan terbuka terhadap kebutuhan pembelajaran peserta didik. Akibatnya, nilai-nilai kehidupan manusia tidak tumbuh dengan baik di dalam diri peserta didik karena tidak dihasilkan melalui proses dialog.             

Muara dari paradigma pendidikan dialogal adalah habituasi karakter jati diri bangsa. Peserta didik dibiasakan dengan nilai-nilai kehidupan bersama sebagai bangsa: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu yang positif, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, peduli sosial, peduli lingkungan, kritis, terbuka, adil, gotong royong,  dan menghargai jalan musyawarah dalam mengambil keputusan. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu pengembangan potensi manusia secara utuh atau paripurna (UU No. 20 Tahun 2003).  Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan  kehidupan  bangsa; pendidikan bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secara garis besar, hasil dari pembiasaan nilai kebebangsaan melalui paradigma pendidikan dialogal adalah tertanam dan bekembangnya  nilai religiusitas, toleransi, dan demokrasi dalam diri pembelajar, baik pendidik maupun peserta didik. Pertama, religiusitas adalah nilai perwujudan relasi personal, baik vertikal maupun horisontal, yang didasarkan pada dimensi-dimensi keimanan, seperti ritual keagamaan yang bersumber pada ajaran kitab suci dan doktrin kegamaan serta  etika dan moral hidup berkomunitas. Hubungan dialogal antara pendidik dan peserta didik akan membentuk sikap hidup yang religius, jujur, disiplin, dan adil karena dikomunikasikan dengan cinta, harapan, dan saling percaya.  

Kedua, toleransi berarti menghormati dan menghargai perbedaan sebagai bagian utuh dari keseluruhan kehidupan manusia tanpa harus mengorbankan indentitas subjektif. Pendidik dan peserta didik adalah dua subjek belajar yang berbeda tetapi hubungan yang dialogal akan membawa mereka ke dalam  situasi relasi yang saling menghargai, saling belajar, saling menghindari tekanan, saling bersimpati dan berempati sebagai sesama manusia. Dengan sikap hidup yang demikian, akan terlahir tindakan-tindakan kreatif yang memungkinkan peserta didik mengembangkan mentalitas  keingintahuan yang positif  terhadap dunia sekitarnya melalui penelitian dan penemuan sehingga peserta didik membuat penalaran atas konteks realitas yang dihadapinya. Pada akhirnya, tercipta kerukunan dan kedamaian dalam hidup pendidik dan peserta didik karena mampu meretas ketegangan antara yang diketahui dan apa yang dihadapi.

Ketiga, demokrasi yang secara politik dipahami sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di dalam demokrasi ada kedaulatan rakyat (pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah), kekuasaan mayoritas dengan jaminan hak-hak minoritas, penghormatan  hak asasi manusia, pemilihan yang bebas, adil, dan jujur, persamaan di depan hukum, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosial, ekonomi, dan politik, nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat. Dalam konteks pendidikan, demokrasi adalah proses dialog antara pendidik dan peserta didik  dalam bersama mencari jalan keluar atau pemecahan suatu masalah yang menyangkut kepentingan  pembelajaran. Artinya, pembelajaran dan seluruh prosesnya memberi ruang terhadap penghargaan budaya yang dimiliki siswa dan cakupan pengetahuan yang dibawa siswa ke sekolah. Dengan demikian, proses pembelajaran akan membentuk  sikap demokratis, terbuka, kritis, cinta damai, tanggung jawab, peduli sosial, dan peduli lingkungan.

Pada dasarnya aktivitas pendidikan merupakan proses pembiasaan (habituasi) nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan  bagi peserta didik. Pembiasaan nilai-nilai ini mengarah pada dua hal: pengetahuan tentang nilai-nilai dan pengetahuan tentang diri sendiri. Peserta didik yang berkarakter pasti mengenal siapa dirinya sendiri; mengenal potensi dirinya; mengenal kelebihan dan kekurangannya. Dengan pemahaman diri itu, ia akan tahu apa yang harus dipelajari dan apa yang tidak perlu dipelajari; ia tahu apa yang diinginkan dan apa yang tidak dibutuhkannya. Dengan demikian, peserta didik mampu memahami, menyadari, mengalami, dan menghayati nilai-nilai secara integral dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.

Oleh karena itu, tindakan pembelajaran, yang dilakukan dalam lingkup suatu mata pelajaran,  harus  diwarnai  dengan  konsep  nilai kemanusiaan  universal  dan nilai-nilai khas bangsa Indonesia sebagaimana termuat dalam Pancasila.     Namun, kenyataan  menunjukkan  bahwa   nilai-nilai Pancasila itu semakin tidak memiliki ruang untuk hidup dalam diri peserta di sekolah. Pancasila tidak lagi diperhatikan  secara nurani sebagai landasan hidup berbangsa dan bertanah air. Pancasila hanyalah  rumusan yang tidak "bernyawa" dan siap menjadi benda artefak yang tak bernilai.  Padahal, nilai-nilai Pancasila yang digali dari masyarakat, seperti kerukunan, musyawarah, gotong royong, rela berkorban, dan nilai-nilai luhur lain terbukti efektif menyatukan bangsa Indonesia.

Di samping penanaman konsep nilai melalui tindakan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi materi pembelajaran, habituasi multikarakter keberbangsaan dapat dilakukan dengan tindakan implementatif nilai-nilai itu dalam tutur kata, perbuatan, dan relasi kemanusiaan antarkomponen pendidikan. Masing-masing komponen pendidikan mengabdikan diri pada kebaikan dan kebenaran umum sehingga terjadi kohesi sosial yang bermakna. Hal itu berarti setiap komponen pendidikan harus mampu meminimalkan egoisme struktural, yang terjebak dalam polarisasi posisi atasan dan bawahan atau yang mendidik dan yang dididik. Hubungan antarkomponen  adalah  hubungan  simbiosis  yang saling menguntungkan dan saling memampukan untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia multidimensional. Dengan tipe hubungan yang demikian dapat diharapkan terjadinya transmisi konsep ilmu pengetahuan antarkomponen pendidikan.

Dalam kaitannya dengan kegiatan  pembelajaran (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi), iklim kelas merupakan faktor penting dalam habituasi nilai. Iklim kelas merupakan suasana atau atmosfer yang dicaiptakan oleh guru melalui aturan-aturan yang ditetapkan, cara guru berinteraksi dengan siswa, dan bagaimana pengelolaan lingkungan fisik. Iklim kelas yang hangat dan suportif mempunyai keterkaitan dengan self-esteem (harga diri) siswa,   partisipasi siswa, dan nilai demokratik  siswa. Iklim kelas juga merupakan prediktor yang kuat untuk agresi siswa, di mana hubungan yang lebih baik dengan guru dan teman sebaya berkorelasi lebih rendah dengan tingkat agresi siswa (Muijs & Reynolds, 2008: 165-166).  Hal ini berarti bahwa untuk menanamkan multikarakter keberbangsaan dalam diri peserta didik, iklim kelas memainkan fungsi yang sangat penting; guru dan peserta didik tidak bekerja atau belajar dalam ruang hampa,  melainkan interaksi edukatif pembelajaran terjadi dalam kondisi yang sengaja disiapkan.

Salah satu aspek terpenting iklim kelas adalah hubungan antara guru dan peserta didik.  Hubungan yang hangat dan suportif  mampu mengefektifkan tindakan pembelajaran guru dalam mendorong peserta didik untuk berkontribusi secara konstruktif di dalam pembelajaran. Guru yang demikian senantiasa dipersepsi sebagai guru yang memahami, membantu, dan ramah kepada peserta didik sehingga tercapai peningkatan prestasi peserta didik. Guru yang hangat dan suportif adalah guru yang tidak mengancam dan tidak puas dengan peserta didik, tetapi guru yang menghargai pendapat peserta didik (pendapat yang keliru tidak boleh memunculkan reaksi negatif, tetapi dipersepsi sebagai bagian dari proses belajar); guru yang peduli dengan kebutuhan emosional, sosial, dan akademik  peserta didik; guru yang memiliki antusiasme tentang subjek atau mata pelajaran yang sedang dibelajarkan (Muijs & Reynolds, 2008: 169-170).

Jika kondisi tersebut telah mampu dihadirkan dalam dinamika kehidupan manusia di semua jenjang pendidikan, maka habituasi multikarakter keberbangsaan akan tertanam kuat dalam diri setiap komponen pendidikan. Pembiasaan nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan dialogal, pada hakikatnya, menanamkan akar yang kuat bagi peserta didik dan menjadi titik refleksi bagi yang mendidik untuk terus menguatkan karakter-karakter keberbangsaan.

4.  Kesimpulan

Paradigma pendidikan dialogal hendaknya dipahami  sebagai dialektika antara yang mendidik dan yang dididik,  antara yang mengatur dan yang diatur, antara yang mengarahkan dan yang diarahkan. Kedua unsur kependidikan ini sama-sama ada dan tidak dapat saling meniadakan. Ada hubungan dialogal dalam kesederajatan antara yang mendidik dan yang dididik karena martabat kemanusiaan yang melingkupinya; tidak mengenal  pola komunikasi top-down atau bottom-up   atau pun  distingsih formasi atasan dan bawahan yang biasa digunakan dalam kependidikan  struktural (baca: tradisional) dan yang bersifat hierarki absolut sehingga mennyebabkan stagnasi arus pembelajaran.

Pendidikan dialogal  yang berporos pada kesederajatan martabat manusia,  dibangun di atas fondasi  humanistik, etika dan moral,  serta demokrasi dan solidaritas sosial.   Artinya,   ketiga faktor ini  menjadi  syarat terciptanya pendidikan dialogal dalam kehidupan sosial edukatif. Jika tidak ada hubungan dialogal, maka sulit membangun masyarakat sekolah yang memiliki multikarakter keberbangsaan karena tidak ada kesantunan publik, tidak ada kecerdasan inklusif, tidak ada kejujuran hidup, dan tidak ada keadilan sosial.

Habituasi multikarakter melalui paradigma pendidikan dialogal, pada dasarnya, membangun kultur kesebangsaan yang kuat. Membangun kultur kesebangsaan berarti membiasakan setiap warga negara hidup dalam penghayatan yang baik dan benar terhadap nilai-nilai kehidupan. Semua komponen pelaksana pendidikan dibiasakan dengan nilai-nilai kehidupan bersama sebagai bangsa: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu yang positif, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, peduli sosial, peduli lingkungan, kritis, terbuka, adil, gotong royong,  dan menghargai jalan musyawarah dalam mengambil keputusan.

_________________

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh. Jakarta: Balai Pustaka.

Giddens, Anthony. 2000. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial.    Jakarta: PT Gramedia.

Glesson, Christopher. 1997. Menciptakan Keseimbangan: Mengajarkan Nilai dan   Kebebasan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.

Hardiman,  F. Budi. 1993.  Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan Modernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.

Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.

Kompas. 5 Maret 2008. "Pidato Penerimaan Gelar Honoris Causa bidang Kebudayaan", hlm. 12.

Makmun, Abin Syamsuddin. 2007. Psikologi Kependidikan: Perangkat Sistem  Pengajaran Modul. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muijs, Daniel & Reynolds, David. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi.     Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Parera, Frans M., & T. Jakob Koekerits, Ed. 2001.  Demokratisasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa. Jakarta: Kompas.

Poole, Ross. 1992. Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme.     Yogyakarta: Kanisius.

Prashing, Barbara. 1998.  The Power of Learning Styles. Bandung: Penerbit Kaifa.

Sutrisno, Mudji. 1994. Getar-Getar Peradaban. Yogyakarta: Kanisius.             

Tjahjadi, S.P. Lili. 1991. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategori. Yogyakarta: Kanisius.

To Thi Anh. 1985. Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni. Jakarta: PT Gramedia.

Undang-Undang  No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius.

Yayasan Cipta Loka Caraka. 1984. Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila I. Jakarta: Cipta Loka Cara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun