3. Â Habituasi Multikarakter Keberbangsaan
Habituasi multikarakter keberbangsaan melalui pendidikan dialogal pada hakikatnya merupakan proses mengoptimalkan perubahan perilaku peserta didik, baik menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Perubahan itu pasti terjadi karena aktivitas pembelajaran selalu mengarah pada transformasi, interpretasi dan reinterpretasi, konstruksi dan rekonstruksi, revisi, dan penyempurnaan perilaku peserta didik. Artinya, aktivitas pembelajaran merupakan aktivitas subjek pembelajar, baik pendidik  maupun peserta didik, untuk terus-menerus bertanya dan mempertanyakan realitas diri dan dunia sekitarnya.
Paradigma pendidikan dialogal sebagai model pembelajaran dihadirkan sebagai jalan alternatif dari kekakuan yang selama ini "menganakemaskan" model ceramah. Â Dalam model ceramah, peserta didik hanya tampil sebagai bejana kosong yang perlu diisi air oleh pendidik. Mereka hanyalah manusia hidup yang tidak diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Sebaliknya, sang guru atau pendidik tampil lebih feodalistik dan doktrinatif daripada sosok yang penuh cinta dan terbuka terhadap kebutuhan pembelajaran peserta didik. Akibatnya, nilai-nilai kehidupan manusia tidak tumbuh dengan baik di dalam diri peserta didik karena tidak dihasilkan melalui proses dialog. Â Â Â Â Â Â Â
Muara dari paradigma pendidikan dialogal adalah habituasi karakter jati diri bangsa. Peserta didik dibiasakan dengan nilai-nilai kehidupan bersama sebagai bangsa: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu yang positif, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, peduli sosial, peduli lingkungan, kritis, terbuka, adil, gotong royong,  dan menghargai jalan musyawarah dalam mengambil keputusan. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu pengembangan potensi manusia secara utuh atau paripurna (UU No. 20 Tahun 2003).  Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan  kehidupan  bangsa; pendidikan bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara garis besar, hasil dari pembiasaan nilai kebebangsaan melalui paradigma pendidikan dialogal adalah tertanam dan bekembangnya  nilai religiusitas, toleransi, dan demokrasi dalam diri pembelajar, baik pendidik maupun peserta didik. Pertama, religiusitas adalah nilai perwujudan relasi personal, baik vertikal maupun horisontal, yang didasarkan pada dimensi-dimensi keimanan, seperti ritual keagamaan yang bersumber pada ajaran kitab suci dan doktrin kegamaan serta  etika dan moral hidup berkomunitas. Hubungan dialogal antara pendidik dan peserta didik akan membentuk sikap hidup yang religius, jujur, disiplin, dan adil karena dikomunikasikan dengan cinta, harapan, dan saling percaya. Â
Kedua, toleransi berarti menghormati dan menghargai perbedaan sebagai bagian utuh dari keseluruhan kehidupan manusia tanpa harus mengorbankan indentitas subjektif. Pendidik dan peserta didik adalah dua subjek belajar yang berbeda tetapi hubungan yang dialogal akan membawa mereka ke dalam  situasi relasi yang saling menghargai, saling belajar, saling menghindari tekanan, saling bersimpati dan berempati sebagai sesama manusia. Dengan sikap hidup yang demikian, akan terlahir tindakan-tindakan kreatif yang memungkinkan peserta didik mengembangkan mentalitas  keingintahuan yang positif  terhadap dunia sekitarnya melalui penelitian dan penemuan sehingga peserta didik membuat penalaran atas konteks realitas yang dihadapinya. Pada akhirnya, tercipta kerukunan dan kedamaian dalam hidup pendidik dan peserta didik karena mampu meretas ketegangan antara yang diketahui dan apa yang dihadapi.
Ketiga, demokrasi yang secara politik dipahami sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di dalam demokrasi ada kedaulatan rakyat (pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah), kekuasaan mayoritas dengan jaminan hak-hak minoritas, penghormatan  hak asasi manusia, pemilihan yang bebas, adil, dan jujur, persamaan di depan hukum, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosial, ekonomi, dan politik, nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat. Dalam konteks pendidikan, demokrasi adalah proses dialog antara pendidik dan peserta didik  dalam bersama mencari jalan keluar atau pemecahan suatu masalah yang menyangkut kepentingan  pembelajaran. Artinya, pembelajaran dan seluruh prosesnya memberi ruang terhadap penghargaan budaya yang dimiliki siswa dan cakupan pengetahuan yang dibawa siswa ke sekolah. Dengan demikian, proses pembelajaran akan membentuk  sikap demokratis, terbuka, kritis, cinta damai, tanggung jawab, peduli sosial, dan peduli lingkungan.
Pada dasarnya aktivitas pendidikan merupakan proses pembiasaan (habituasi) nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan  bagi peserta didik. Pembiasaan nilai-nilai ini mengarah pada dua hal: pengetahuan tentang nilai-nilai dan pengetahuan tentang diri sendiri. Peserta didik yang berkarakter pasti mengenal siapa dirinya sendiri; mengenal potensi dirinya; mengenal kelebihan dan kekurangannya. Dengan pemahaman diri itu, ia akan tahu apa yang harus dipelajari dan apa yang tidak perlu dipelajari; ia tahu apa yang diinginkan dan apa yang tidak dibutuhkannya. Dengan demikian, peserta didik mampu memahami, menyadari, mengalami, dan menghayati nilai-nilai secara integral dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
Oleh karena itu, tindakan pembelajaran, yang dilakukan dalam lingkup suatu mata pelajaran,  harus  diwarnai  dengan  konsep  nilai kemanusiaan  universal  dan nilai-nilai khas bangsa Indonesia sebagaimana termuat dalam Pancasila.   Namun, kenyataan  menunjukkan  bahwa  nilai-nilai Pancasila itu semakin tidak memiliki ruang untuk hidup dalam diri peserta di sekolah. Pancasila tidak lagi diperhatikan  secara nurani sebagai landasan hidup berbangsa dan bertanah air. Pancasila hanyalah  rumusan yang tidak "bernyawa" dan siap menjadi benda artefak yang tak bernilai.  Padahal, nilai-nilai Pancasila yang digali dari masyarakat, seperti kerukunan, musyawarah, gotong royong, rela berkorban, dan nilai-nilai luhur lain terbukti efektif menyatukan bangsa Indonesia.
Di samping penanaman konsep nilai melalui tindakan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi materi pembelajaran, habituasi multikarakter keberbangsaan dapat dilakukan dengan tindakan implementatif nilai-nilai itu dalam tutur kata, perbuatan, dan relasi kemanusiaan antarkomponen pendidikan. Masing-masing komponen pendidikan mengabdikan diri pada kebaikan dan kebenaran umum sehingga terjadi kohesi sosial yang bermakna. Hal itu berarti setiap komponen pendidikan harus mampu meminimalkan egoisme struktural, yang terjebak dalam polarisasi posisi atasan dan bawahan atau yang mendidik dan yang dididik. Hubungan antarkomponen  adalah  hubungan  simbiosis  yang saling menguntungkan dan saling memampukan untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia multidimensional. Dengan tipe hubungan yang demikian dapat diharapkan terjadinya transmisi konsep ilmu pengetahuan antarkomponen pendidikan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan  pembelajaran (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi), iklim kelas merupakan faktor penting dalam habituasi nilai. Iklim kelas merupakan suasana atau atmosfer yang dicaiptakan oleh guru melalui aturan-aturan yang ditetapkan, cara guru berinteraksi dengan siswa, dan bagaimana pengelolaan lingkungan fisik. Iklim kelas yang hangat dan suportif mempunyai keterkaitan dengan self-esteem (harga diri) siswa,  partisipasi siswa, dan nilai demokratik  siswa. Iklim kelas juga merupakan prediktor yang kuat untuk agresi siswa, di mana hubungan yang lebih baik dengan guru dan teman sebaya berkorelasi lebih rendah dengan tingkat agresi siswa (Muijs & Reynolds, 2008: 165-166).  Hal ini berarti bahwa untuk menanamkan multikarakter keberbangsaan dalam diri peserta didik, iklim kelas memainkan fungsi yang sangat penting; guru dan peserta didik tidak bekerja atau belajar dalam ruang hampa,  melainkan interaksi edukatif pembelajaran terjadi dalam kondisi yang sengaja disiapkan.