Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Penguatan Rupiah, Fenomena Moneter Sementara

26 November 2018   09:33 Diperbarui: 26 November 2018   10:02 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, yield SUN tenor pendek 3-bulan dan 6-bulan masing-masing sempat naik ke 6,4% dan 6,6% pada September 2018. Sedangkan di akhir Oktober, yield SUN tenor pendek masing-masing berada di 6,0% dan 6,2%. Artinya, sepanjang September --Oktober yield SUN tenor pendek sudah memberi sinyal kepada Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga kebijakan. Lagi-lagi dinamika pasar membuktikan bahwa suku bunga kebijakan bank sentral adalah indikator pengikut (lagging indicator) dari dinamika ekonomi.

Dengan ancaman kenaikan yield US Treasury masih akan berlanjut di tahun 2019, baik karena kenaikan the Fed Fund Rate Target, quantitative tightening, dan membengkaknya defisit anggaran pemerintah Amerika, maka manfaat solusi moneter bagi penguatan Rupiah ini diperkirakan bersifat sementara.

Apalagi dari aspek fundamental dimana defisit neraca perdagangan yang semakin melebar, maka potensi defisit transaksi berjalan akan mencapai 3,0% PDB atau lebih besar di tahun 2018. Sehingga sentimen negatif dari menurunnya kinerja riil struktural ekonomi akan lebih mendominasi dinamika pergerakan kurs Rupiah terhadap Dolar AS.

Karena itu penyakit pelemahan Rupiah akan segera kambuh lagi bila gejolak ekonomi global berlanjut.

Masalah Struktural Sektor Riil

Banyak ekonom menyatakan bahwa kebijakan moneter, berupa kenaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar, tidak dapat menyelesaikan permasalahan lemahnya daya saing sektor riil Indonesia. Lemahnya daya saing sektor riil ini memang bersumber pada masalah struktural seperti lemahnya sumberdaya manusia (SDM), biaya logistik yang tinggi karena minimnya infrastruktur, rendahnya inovasi teknologi, dan aspek institusional negara yang tidak kondusif bagi dunia usaha.

Bahkan pelemahan ekstrim Rupiah seperti tahun 1998 hanya bermanfaat sementara untuk meningkatkan daya saing perdagangan internasional Indonesia.

Secara empiris, kekalahan Indonesia dalam persaingan perdagangan internasional terlihat dimana nilai total ekspor negara kecil seperti Vietnam (mencapai US$ 214 Miliar) sudah lebih besar daripada nilai total ekspor Indonesia (US$ 169 Miliar) (WTO, World Trade Statistical Review2018)

Belajar dari sukses era Orde Baru yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi di saat harga minyak turun di 1980-an dan 1990-an, maka deregulasi sektor riil merupakan kunci utama perbaikan kinerja ekonomi.

Berbagai reformasi ekonomi 1980-an dan 1990-an awal berhasil memacu pertumbuhan ekonomi menjadi rata-rata 6,8% per tahun dalam periode 1986-1996. 

Salah satu penopang pertumbuhan tinggi tersebut adalah pertumbuhan industri manufaktur yang mencapai 10,5% per tahun dalam periode yang sama (Macquarie Research, Mei 2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun