Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Penguatan Rupiah, Fenomena Moneter Sementara

26 November 2018   09:33 Diperbarui: 26 November 2018   10:02 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Tulisan ini dimuat di kolom OPINI, Harian KONTAN, Kamis, 22 November 2018, hal 23.

Tulisan berasal dari diskusi dan komentar baik di group WA dan kompasiana. Kebetulan baca Siaran Pers Bank Indonesia yg menyatakan: "Peningkatan cadangan devisa pada Oktober 2018 terutama dipengaruhi oleh penerimaan devisa migas dan penarikan utang luar negeri (ULN) pemerintah ..", muncul lah ide menulis secara lengkap.

Saya sendiri sudah sejak 2013 bilang: Surat Utang Negara mudah jualnya kalau caranya cuma naikkan yield (jual murah) dan lemah kan Rupiah.

=====.

Dalam dua minggu pertama November, kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika menguat singnikan ke sekitar Rp 14.600 per US$, dari titik terendah sekitarRp 15.250 pada Oktober. 

Bahkan kurs Rupiah sempat bergerak di sekitar Rp 14,400-an pada 8 November.Penguatan kurs Rupiah juga disertai dengan penurunan imbal hasil Surat Utang Negara (yield SUN) dan rally di bursa saham. 

Ketiga bursa finansial seperti memberi sinyal bahwa masa-masa sulit telah berlalu dan menimbulkan harapan terciptanya stabilitas finansial di tahun 2019.

Dari aspek global, diduga sentimen kemenangan partai Demokrat pada "midterm election" di DPR Amerika Serikat (AS) dan dinamika teknikal dapat menjadi pemicu penguatan Rupiah.

Sedangkan dari aspek domestik, ada dua indikator yang dapat menjadi sentimen positif bagi pergerakan rupiah, yaitu:peningkatan cadangan devisa dan kenaikan bunga kebijakan Bank Indonesia 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR).

Utang Luar Negeri sebagai Sumber Cadangan Devisa

Cadangan devisa konsisten terus menurun sepanjang tahun 2018, dari US$132,0 Miliar pada Januari 2018 menjadi US$ 114,8 Miliar pada September 2018. Wajar bila Rupiah kemudian sangat mudah tertekan sentimen penguatan Dolar AS. Di bulan Oktober, terjadi kejutan dimana cadangan devisa naik tipis menjadi US$ 115,2Miliar.

Ironisnya, kenaikan cadangan devisa ini terjadi pada saat defisit neraca perdagangan luar negeri membengkak. Secara kumulatif Januari-Oktober 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit US$ 5,5 miliar. 

Defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 kontras dengan surplus neraca perdagangan pada periode yang sama ditahun 2016 dan 2017 yang masing-masing mencapai US$ 7,6 miliar dan US$ 11,8 Miliar.

Merujuk Siaran Pers Bank Indonesia, ternyata sumber peningkatan cadangan devisa berasal dari penarikan utang luar negeri pemerintah. 

Memang pada tanggal 25 Oktober, Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menarik pinjaman sebesar US$ 1,6 Miliar dari sindikasi bank komersial internasional. Sedangkan di Surat Utang Negara (SUN), kepemilikan asing sepanjang Oktober juga mengalami kenaikan Rp13,5 Triliun (sekitar US$ 0,9Miliar).

Fenomena Moneter

Peningkatan cadangan devisa ini seperti mencerminkan perbaikan fundamental ekonomi. Sayangnya, perbaikan fundamental tersebut tidak lebih dari polesan artifisial fenomena moneter: penambahan utang luar negeri dan penjualan SUN kepada investor asing.

Investor asing juga tertarik membeli SUN Indonesia karena fenomena moneter, yaitu tingkat yield SUN Indonesia yang relatif tinggi. 

Sepanjang Oktober, yield SUN Indonesia tenor 10-tahun sempat mencapai 8,8%, tertinggi dalam periode 2016 - 2018. Dengan beban utang pemerintah sekitar 30% Produk Domestik Bruto (PDB), ternyata yield SUN Indonesia lebih tinggi daripada yield SUN negara-negara dengan beban utang yang jauh lebih besar seperti Filipina (42% PDB), Meksiko (46%), Kolombia (48%), dan Vietnam (61%).

Pelemahan Rupiah sepanjang 2018 sendiri menjadi fenomena moneter lain yang membuat asset finansial Indonesia menjadi relatif lebih murah dan menarik investor asing. Dengan yield yang tinggi dan Rupiah yang sudah melemah, investasi asing di SUN berbasis Rupiah berharap akan mendapat tambahan return berupa kenaikan harga SUN (capital gain) dan potensi penguatan Rupiah (currency gain).

Potensi penambahan cadangan devisa dari arus modal portofolio berlanjut di November, dimana pembelian SUN oleh investor asing mencapai Rp17 Triliun per 15-November. Penjualan global bond oleh PT Inalum untuk akuisisi Freeport juga sementara menambah cadangan devisa, meski setelah pembayaran segera keluar dari perekonomian Indonesia.

Faktor kedua penguatan Rupiah juga masih fenomena moneter, yaitu kenaikan suku bunga kebijakan BI7DRRR. Bank Indonesia menyatakan kenaikan suku bunga kebijakan BI 7 DRR merupakan "upaya menurunkan defisit transaksi berjalan" dan "juga untuk memperkuat daya tarik asset keuangan domestic dengan mengantisipasi kenaikan sukubunga global".

Sebenarnya, yield SUN tenor pendek 3-bulan dan 6-bulan masing-masing sempat naik ke 6,4% dan 6,6% pada September 2018. Sedangkan di akhir Oktober, yield SUN tenor pendek masing-masing berada di 6,0% dan 6,2%. Artinya, sepanjang September --Oktober yield SUN tenor pendek sudah memberi sinyal kepada Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga kebijakan. Lagi-lagi dinamika pasar membuktikan bahwa suku bunga kebijakan bank sentral adalah indikator pengikut (lagging indicator) dari dinamika ekonomi.

Dengan ancaman kenaikan yield US Treasury masih akan berlanjut di tahun 2019, baik karena kenaikan the Fed Fund Rate Target, quantitative tightening, dan membengkaknya defisit anggaran pemerintah Amerika, maka manfaat solusi moneter bagi penguatan Rupiah ini diperkirakan bersifat sementara.

Apalagi dari aspek fundamental dimana defisit neraca perdagangan yang semakin melebar, maka potensi defisit transaksi berjalan akan mencapai 3,0% PDB atau lebih besar di tahun 2018. Sehingga sentimen negatif dari menurunnya kinerja riil struktural ekonomi akan lebih mendominasi dinamika pergerakan kurs Rupiah terhadap Dolar AS.

Karena itu penyakit pelemahan Rupiah akan segera kambuh lagi bila gejolak ekonomi global berlanjut.

Masalah Struktural Sektor Riil

Banyak ekonom menyatakan bahwa kebijakan moneter, berupa kenaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar, tidak dapat menyelesaikan permasalahan lemahnya daya saing sektor riil Indonesia. Lemahnya daya saing sektor riil ini memang bersumber pada masalah struktural seperti lemahnya sumberdaya manusia (SDM), biaya logistik yang tinggi karena minimnya infrastruktur, rendahnya inovasi teknologi, dan aspek institusional negara yang tidak kondusif bagi dunia usaha.

Bahkan pelemahan ekstrim Rupiah seperti tahun 1998 hanya bermanfaat sementara untuk meningkatkan daya saing perdagangan internasional Indonesia.

Secara empiris, kekalahan Indonesia dalam persaingan perdagangan internasional terlihat dimana nilai total ekspor negara kecil seperti Vietnam (mencapai US$ 214 Miliar) sudah lebih besar daripada nilai total ekspor Indonesia (US$ 169 Miliar) (WTO, World Trade Statistical Review2018)

Belajar dari sukses era Orde Baru yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi di saat harga minyak turun di 1980-an dan 1990-an, maka deregulasi sektor riil merupakan kunci utama perbaikan kinerja ekonomi.

Berbagai reformasi ekonomi 1980-an dan 1990-an awal berhasil memacu pertumbuhan ekonomi menjadi rata-rata 6,8% per tahun dalam periode 1986-1996. 

Salah satu penopang pertumbuhan tinggi tersebut adalah pertumbuhan industri manufaktur yang mencapai 10,5% per tahun dalam periode yang sama (Macquarie Research, Mei 2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun