***
Deta tak pernah lagi melihat Vega ada di dalam barnya. Bermain-main bersama biji kopi dan seperangkat alat-alat barista lainnya. Tak ada lagi Vega yang setiap hari bisa memahami diamnya. Bersinergi sampai hampir ke seluruh hal, bahkan dalam diam sekali pun. Paham apa yang dia mau bahkan tanpa berucap.
"Aku sudah ingatkan! Musibah ada di depan mata." Yogi menemui Deta setelah menerima pesan singkat lewat WA.
"Kali ini aku salah. Vega memang sulit di tebak. Aku terlalu yakin." Ucap Deta penuh sesal.
"Dia beneran gabung sama Gudang Kopi? Aku cek ke sana kok kayaknya aku nggak dapat info apa pun, ya." Sambung Deta.
"Menurutmu kalau orang lain tau Vega lepas dari kita, berapa banyak perusahaan kopi yang ngejar dia? Ya pasti mereka nutupin soal Vega lah. Lagian aku dengar, Vega nggak di operasional lagi. Dia yang handle R&DÂ di sana." Ungkap Yogi.
Deta meraih Piccolo yang ada di hadapannya. Sudah beberapa menit lalu diantarkan waitress tapi tak disambut Deta.
Wajah Deta berubah sumringah. Lehernya berputar kesana kemari. Dia tahu betul siapa yang meracik Piccolo itu. Dilangkahkannya kaki menuju bar. Ada Vega di sana. Lengkap dengan apron baristanya.
"Keluar" Ucap Deta kegirangan.
"Kenapa, Pak? Masih banyak orderan." Jawab Vega.
"Berhenti meracik kopi untuk siapa pun. Â Sudah cukup bertahun-tahun kau diam di dalam sana, meracik kopi untukku. Menyelami seleraku bahkan tanpa aku jelaskan. Sudah cukup bertahun-tahun aku duduk di counter bar ini hanya demi bisa memperhatikanmu di dalam sana. Melihatmu dari layar CCTV ketika aku nggak ada di outlet."