Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bahasa Secangkir Piccolo

6 Desember 2020   00:07 Diperbarui: 6 Desember 2020   00:09 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertahun sudah Vega memilih pekerjaan sebagai seorang Barista. Berada di balik gagang porta filter dan meracik kopi untuk setiap pengunjung yang datang. Dari balik bar dia bisa menjadi saksi dari begitu banyak kisah mereka yang datang. Vega begitu mencinta kopi. Kopi baginya bukan sekedar pekerjaan, tapi kebahagiaan.

Sambil menunduk tanpa kalimat sepatah kata pun, Vega menyodorkan espresso hasil kalibrasinya pagi itu. Hal rutin yang selalu dilakukan setiap barista yang bertugas di shiftnya. Hal rutin teraneh yang dia lakukan bertahun-tahun. Bekerja, dengan minim sekali komunikasi dengan atasannya.

Vega menangkap arti di balik ekspresi datar Deta. Rupanya sensori Deta kian tajam. Padahal Vega hanya sedikit saja menaikkan tingkat kehalusan hasil giling biji kopinya. Vega bergegas membuatkan espresso yang baru. Sesuai karakter standar seharusnya.

"Taste good. Uda ok ini." Deta mengomentari espresso yang baru diseruputnya.

Sudah tanpa perlu instruksi lanjutan Vega membuatkan Piccolo untuk Deta. Mereka terbiasa kerja dengan cara otomatis seperti itu. Sereba otomatis. Atau mungkin mereka berkomunikasi menggunakan telepati. 

"Ve, bean baru, nih. Cupping yok." Yogi melemparkan contoh biji kopi yang baru dibawanya.

"Bentar, Gi. Banyak orderan, nih." Sambung Vega tanpa beralih perhatian dari mesin kopinya.

"Buruan... nggak usah banyak alesan. Itu kan ada Meta." Desak Yogi.

Vega tak menyahut kembali. Dia mempersiapkan segala keperluan cupping dengan jeli. Beberapa detik Vega memperhatikan dengan teliti biji kopi yang ada ditangannya, menikmati aroma brown sugar bercampur chamomile dan earthy yang menyerebak ke seluruh indera penciumannya. Itu yang Vega sebut dengan surga.

Bukan hal sulit untuk Vega mencari jodoh ratio yang baik antara tingkat roasted, wash methode, dan tingkat kehalusan giling, dan perbandingan air supaya bisa dinikmati siapa pun. Vega tak hanya jeli mengenali karakter kopi, dia juga wahid mengenal selera kopi penikmatnya. Vega tak pernah memaksakan orang menyukai kopi buatannya. Tapi dia membuatkan kopi sesuai selera mereka.

"Dapet dari mana single origin begini? Bisa konsisten? Aku takut entar waktu jalan, malah susah cari barangnya." Deta pecinta single origin menyambut antusias kopi yang baru di brew Vega.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun