Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan Tak Tamat SD Itu Guru Besarku

20 Mei 2020   02:22 Diperbarui: 20 Mei 2020   17:37 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: KOMPAS.com/Shutterstock)

Hujan masih begitu derasnya turun mengguyur kota Medan. Sudah satu minggu ini hujan turun hampir setiap sore, membuat jalanan di kota ini selalu basah.

Di kota ini tak nampak perubahan aktivitas warga. Semua masih terlihat sama. Orang-orang masih dengan sombongnya memadati pasar-pasar untuk membeli baju baru dan bahan-bahan membuat kue kering. Satu-satunya yang berubah adalah bertambahnya pengangguran.

Siang itu Ibuku mulai sibuk membenahi gerobak sepedanya. Perempuan berumur empat puluh lima tahun itu sudah dua minggu ini mengistirahatkan gerobak sepedanya. Umurnya yang hampir lanjut itu tak membuatnya menyerah pada nasib. 

Pademik memang sudah membuat penghasilannya jauh berkurang, tapi tak mengurangi semangatnya memperjuangkanku, anak semata wayangnya. Bapak sudah belasa tahun bekerja sebagai TKI, dan tak pernah pulang hingga sekarang. Tapi Ibu tak pernah berhenti berharap Bapak akan pulang. Doanya tak pernah putus untuk Bapak, cinta sejatinya.

"Ma, Firman aja yang jualan ya." Aku menawarkan diri untuk menggantikan Ibu berjualan hari ini.

"Memangnya kau tahu harus berjualan keliling ke mana?" Dialeg Medan Ibuku sangat kental walau pun di tubuh kami mengalir darah Jawa. Ibu dan Bapakku memang orang Jawa, tapi mereka sudah sejak lahir di kota ini. Iya. Kami Pujakesuma. Putera Jawa Kelahiran Sumatera.

Aku terdiam tak bisa menjawab pertanyaan Ibuku. Selama ini Ibu memang tak pernah mengijinkanku untuk ikut berjualan dengannya. Hari demi hari, sejak matahari terbit hingga tenggelam, Ibu selalu mencekoki aku dengan buku-buku bekas yang terkadang dia minta atau diberikan oleh langganan-langganannya.

"Kalau gitu, hari ini Firman ikut Ibu jualan. Jadi besok Firman sudah bisa jualan sendiri." Aku sedang berusaha merayu Ibuku.

"Nah..." Ibuku memberikanku perlengkapan-perlengkapan kami untuk berjualan.

"Nyusunnya seperti ini. Nah, kau tengok ini, ya." Ibu mengkoreksi hasil pekerjaanku sambil mencontohkan bagaimana melakukan pekerjaan itu seperti yang biasa dia lakukan. Wajah Jawanya kontras sekali dengan dialeg kota ini.

Sebelum sore kami sudah memulai usaha kami hari itu.

Bismillah. Semoga berkah. Pelan tapi terdengar di telingaku. Ibuku mengawali semua usaha kami hari ini dengan berserah pada Allah.

Sejak siang tadi matahari memang seperti ragu memunculkan teriknya. Berkali kali bersembunyi di balik awan gelap. Angin pun berhembus lebih kencang dari biasanya. Ibuku masih terus mendayung sepedanya. Beberapa detik sekali dia berteriak. Mie pecel..miee.

Sejak kami berkeliling tak lebih dari sepuluh pembeli yang membuat gerobak kami berhenti. Dulu Ibuku sering mangkal di depan salah satu tempat les bimbingan. Sekarang, tempat itu sedang merumahkan semua proses belajar mengajar mereka. Aku mulai putus asa. Khawatir mie dan gorengan yang sudah kami masak tak terjual habis.

Gerimis mulai turun. Ibuku masih terus mengayuh sepedanya. Teriakannya bahkan terdengar makin kencang. Katanya supaya bisa mengalahkan suara angin dan gerimis.

"Ma, kita neduh ya." Kekhawatiranku berpindah pada Ibuku. Aku tak lagi mengkhawatirkan mie dan gorengan kami yang masih memenuhi gerobak kami.

"Sebentarlah dulu. Masih gerimis nya." Ibuku memang keras kepala.

Hujan makin deras turun. Kali ini aku mendorong paksa gerobak kami ke dalam ruko kosong yang masih terlihat seperti kerangka bangunan yang ada di depan. Hujan turun sangat deras. Angin kencang menumbangkan pohon besar di seberang jalan. Kilat menyala disusul petir menggelegar.

Banjir mulai naik. Pengendara sepeda motor pun terpaksa menghentikan perjalanan mereka. Beberapa bahkan sudah basah kuyup karena sepeda motor mereka mogok. Ruko kosong itu penuh dengan pengendara yang menepi untuk berteduh seperti kami juga.

Allah memang sudah menakar rejeki umat-NYA. Mie dan gorengan yang kami bawa habis terjual. Suasana dingin dan basah kuyup jelas membuat perut lapar. Dan memang sudah waktu berbuka puasa. Kami bahkan harus berbuka hanya dengan air putih.

Aku menatap Ibuku dengan penuh haru. Seperti ini caranya memperjuangkanku semenjak Bapak pergi. Dia selalu menggantungkan harapannya hanya pada Allah. Dan ternyata seperti ini cara Allah bekerja.

Hujan sudah reda. Ibu mengajakku pulang. Malam itu terasa lebih dingin dari biasa. Aku sedikit kedinginan. Aku yakin Ibuku juga merasa dingin yang sama. Tapi raut wajahnya tak berubah. Ada beberapa pohon tumbang yang kami lewati sepanjang jalan. Banjir juga belum sepenuhnya surut.

"Ma, naiklah ke atas sepeda. Firman dorong dari belakang."

Ibuku pasti sudah lemas sekali. Puasa sepanjang hari dan hanya bisa berbuka puasa dengan air putih.

"Kau tak kedinginan rupanya?" Ibu selalu mencemaskanku.

"Nggak, Ma." Jawabku tanpa menghentikan kaki melangkah mendorong gerobak sepeda kami.

Aku langsung membereskan gerobak kami. Kalau bagian ini, aku sudah terbiasa melakukannya. Ini memang tugasku setiap kali Ibuku pulang berjualan keliling. Ibu sibuk mengeringkan beberapa genangan di dalam rumah. Rumah reot kami memang sudah bocor di beberapa titik.

"Ma, Mamak makanlah dulu. Biar Firman yang pel lantai itu setelah selesai beresin gerobak ini." Aku benar-benar mengkhawatirkan Ibuku.

"Sudahlah. Ini kan bukan pekerjaan berat." Sekali lagi. Ibuku memang keras kepala.

Setelah semua rapih, Ibu menumis sayur tauge. Hanya itu yang kami punya, sisa dari bahan membuat pecal tadi siang. Tak ada lauk lain.

"Malam ini, makanlah seperti ini dulu. Besok Mamak baru bisa beli ikan asin di pajak."

Di Medan ini, kami biasa menyebut pasar dengan sebutan pajak. Seperti itu keberagaman di bumi pertiwi ini.

Aku tak pernah menuntut apa pun dari Ibu. Buatku, dia adalah jawaban dari apa pun yang kuperlu, dan kucari di dunia ini.

"Sinikan kakimu itu." Ibu menarik kakiku dan memasangkan kaos kaki tebal milik Bapak.

"Firman bisa pakai sendiri, Ma." Aku cepat-cepat menarik kakiku. Bagaimana mungkin aku yang sudah dewasa ini diperlakukan seperti bayi.

"Sinikan Mamak bilang." Ya begitulah Ibuku. Keras kepala.

"Kakimu ini sampai keriput terendam banjir sepanjang jalan tadi. Besok kau tak perlu ikut Mamak jualan keliling lagi." Entah kapan Ibuku ini sadar bahwa aku sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang sanggup menggantikan tugas Bapak menjaganya.

"Ma, tak apa kaki Firman keriput dan mengkerut. Asal surga Firman tak terendam banjir dan  terkikis aspal lagi." Aku meraih tangan perempuan yang melahirkanku itu.

"Kau ini,,, Pergilah wudhu lalu tidur." Ibuku mengalihkan pembicaraan kami.

Sampai sedewasa ini, Ibu selalu memastikan aku tidur tak larut malam. Kecuali karena keperluan belajar. Ibu selalu tahu agenda sekolahku bahkan sampai hampir menyelesaikan kuliah seperti sekarang.

Sahur pagi ini hanya ada nasi dan air putih.  Seperti biasa, selesai sholat subuh, kami selalu berdzikir dan tilawah Qur'an. Hal sederhana yang sudah dibiasakan Bapak mungkin sejak aku masih dalam kandungan Ibuku, sebelum akhirnya kami sibuk dengan kegiatan kami masing-masing sepanjang hari.

"Ma, hari ini Firman jualan sendiri, ya." Aku mengingatkan Ibu pada rencana kami kemarin.

"Iya, Mamak masih ingat. Sekarang kau kawanilah dulu Mamak belanja ke pajak."

Pagi ini aku lebih bersemangat. Walau aspal di kota Medan masih basah karena sisa hujan kemarin, tapi udara pagi ini terasa lebih sejuk. Ibu membawaku berbelanja ke kios-kios langganannya.

"Kau hapalkanlah lapak-lapak tempat langganan Mamak, ya. Kalau belanja sama mereka, biasanya Mamak dikasih ngutang."

Dulu waktu kecil aku memang sering menemani Ibuku ke pasar kalau aku libur sekolah. Tapi semakin aku besar, Ibu semakin jarang mengajakku. Kalau aku libur sekolah pun, Ibu pasti menyuruhku diam di rumah. Mengerjakan apa pun yang bisa kukerjakan di rumah.

"Sudah besar anakmu ya, Kak Ros. Ganteng kali. Jodohkanlah sama anak gadisku." Ibu pemilik kios itu melempar canda pada Ibuku.

"Ah, biarlah dia yang memikirkan jodohnya, Eda." Balas Ibuku tak mau ambil pusing.

Keranjang kami sudah penuh dengan sayur-sayuran dan bumbu dapur. Ibu cepat-cepat mengajakku pulang agar tak kesiangan berjualan nanti.  Dengan sabar Ibu mengerjakan semua. Aku membantu semampuku, menunggu instruksinya. Matahari mulai meninggi. Hari ini sepertinya berbeda dengan kemarin. Matahari tak terlihat malu-malu muncul. Tak ada awan menutup cahayanya. Langit cerah. Biru itu rasanya terbentang luas.

Aku menyusun semua keperluan untuk berjualan nanti. Ini hari pertamaku berjualan sendiri tanpa Ibu. Jelas aku sangat bersemangat. Aku seperti ingin menunjukkan baktiku padanya. Aku ingin menunjukkan pada Ibu bahwa aku tak pernah gengsi menjadi calon sarjana yang hanya anak penjual mie pecel keliling.

Setelah mengecek semua kembali, Ibu memberangkatkanku dengan doa. Seperti biasa sebelum pergi ke mana pun, aku selalu mencium tangan yang selama ini merawatku dengan sangat luar biasa.

"Ini buat bekal buka puasa nanti." Ibu memberikan kotak nasi berisi nasi dan lauk. Ah, entah kapan Ibu akan sadar kalau anaknya sudah sebesar ini.

Aku mengayuh gerobak sepeda sesuai jalur yang aku lewati kemarin bersama Ibu. Pembeli hari ini rasanya lebih banyak dari kemarin. Mie pecel dan gorenganku tinggal separuh.

Ternyata di ujung ruko kemarin ada lapangan bola. Ramai orang sedang bermain bola sambil menunggu jam berbuka puasa. Kuparkirkan gerobakku di bawah pohon. Rindang pohon yang berjejer membuat sekeliling lapangan terasa lebih teduh. Angin yang berhembus membuatku mulai mengantuk dan tertidur sebentar.

"Bang, beli." Aku bergegas bangun dengan bersemangat.

Mereka sudah selesai bermain bola, tepat sebelum adzan maghrib berkumandang. Jualanku habis. Ibu pasti senang. Aku bahkan tak ingin berbuka puasa dengan bekal yang diberikan ibu tadi siang. Aku ingin segera sampai di rumah. Senyum Ibu sudah terbayang di benakku.

Cuaca berubah begitu cepat. Angin mulai berhembus kencang. Aku kayuh sepedaku cepat-cepat. Belum setengah perjalanan menuju pulang, hujan deras turun. Kupaksakan mendayung sepedaku. Tapi angin kecang membuatku kesulitan.

Aku lanjutkan perjalananku dengan mendorong sepedaku. Tak ada tempat berteduh di jalur yang kulewati ini. Hujan semakin deras turun. Aku berteduh di bawah teras rumah yang hanya muat untuk jemuran itu. Rumah itu tak berpagar. Aku memarkir sepedaku tepat di sampingku. Bajuku sudah basah kuyup. Tapi tak apalah. Mungkin Ibuku sudah melewati ratusan atau bahkan ribuan hari yang lebih berat dari ini.

Aku mengejar sepeda gerobakku yang diterbangkan angin. Hatiku hancur. Gerobak Ibuku rusak sudah. Bekal yang dititipakan Ibuku sudah berhamburan bercampur air hujan. Rasanya aku ingin berteriak. Aku mengutuk diriku sendiri.

Aku memang tak layak menjadi anak yang baik. Aku tak bisa memberikan kebanggaan apa pun untuk Ibuku. Bahkan sudah sampai sedewasa ini pun aku belum bisa menyenangkan hatinya. Apa yang harus aku jelaskan pada Ibuku.

Aku mengutipi sisa-sisa perlengkapan yang kubawa. Semua sudah kotor. Tak terpakai lagi. Kudorong sepeda yang sudah hampir tak berbentuk itu.

"Assalamualaikum, Ma. Firman pulang."

Ibu tak bertanya apa pun padaku. Tak juga menunjukkan kepanikan. Dia memberiku sejumput garam di ujung lidahku. Ibuku bilang kalau habis kehujanan harus makan garam supaya tak demam. Dia lalu memberiku handuk dan menyiapkan teh hangat untukku.

"Mandilah, kau sudah basah kuyup."

Aku tak bisa lagi menyembunyikan air mataku. Hari ini aku paham bahwa laki-laki pun bisa menangis. Kupuaskan tangisku selama aku mandi membersihkan badanku.

"Makanlah. Ini teh hangat untukmu." Ibuku sudah menyiapkan semua untukku.

"Ma,,,"Aku tahu Ibu menunggu penjelasanku. Tapi tak satupun kalimat yang bisa kuucapkan.

"Sudahlah, Nak. Kau tak perlu jelaskan kalau tak sanggup. Hidungmu itu sudah seperti tomat merahnya. Tak puas rupanya kau menangis tadi?"

Sulit memang menyembunyikan sesuatu darinya. Aku menarik napas panjang. Menenangkan diriku sendiri dan memberanikan diri menceritakan semua padanya. Aku bukan takut dimarahi. Aku takut membuatnya kecewa, aku tak ingin membuatnya menangis.

Aku menceritakan semua seperti yang sesungguhnya terjadi. Anak laki-laki dua puluh dua tahun ini bercerita sambil berlinang air mata seperti anak kecil yang ketakutan karena baru memecahkan kaca jendela tetangga sebelah rumah.

"Lalu karena apa kau menangis?" Pertanyaan Ibu membuatku kaget. Dia bertanya kenapa aku menangis. Apa dia tak berpikir aku baru saja melewati hari yang berat.

"Gerobak kita rusak. Lalu pakai apa kita besok berjualan, Ma? Kalau aku bisa menjaga gerobak itu baik-baik, gerobak itu pasti tak akan rusak."

"Ya pakai kaki." Ibuku menjawab sederhana. Aku mengernyitkan alisku.

"Mamak masih bisa jualan besok. Pake Bakul. Ya digendong saja. Dulu juga sebelum ada sepeda itu, Mamak jualannya jalan kaki gendong bakul."

Tangisku bukannya terhenti malah semakin jadi. Ibu benar, aku ternyata belum dewasa. Mana ada lelaki dewasa menangis.

"Ma, Firman minta maaf."

"Maaf kenapa?"

Ah, andai saja Ibu tahu, aku begitu merasa bersalah.

"Firman nggak bisa jadi anak berbakti. Firman nggak bisa bikin Mamak bangga. Firman malah menyusahkan. Jaga gerobak Mamak sebentar saja Firman gagal." Aku mulai sesenggukan.

Ibuku tersenyum. Dia memelukku.

"Sejak kau masih di dalam perut Mamakmu ini, kau itu sudah jadi kebangganku Firman. Kau tak perlu seperti ini buat nunjukkin baktimu. Kau baik-baiklah kuliah. Jangan sia-siakan program beasiswamu itu. Sebentar lagi kan namamu berubah jadi Muhammad Firman Pradana, S.Psi. Itu aja sudah cukup buat Mamakmu ini bangga. Paham kau itu?"

"Mamak tidak marah karena gerobak kita rusak?"

"Mamak marah kalau kau sampai sakit karena kehujanan mengejar gerobak itu."

Aku menatap Ibuku dengan berjuta rasa bersalah.

"Tak ada yang lebih penting buat Mamak selain kesehatan dan keselamatanmu, Firman." Kali ini aku bisa mendengar jelas suara Ibu yang bergetar.

"Sekarang wudhulah lalu tidur. Besok kau masih mau ikut Mamak ke pajak kan?" Ibu tersenyum.

Aku menghapus air mataku. Memberikan senyumku untuknya. Sejak pulang tadi, aku hanya mempertontonkan wajah sedih. Aku yakin, itu adalah pemandangan paling menyakitkan untuk Ibu.

Siang itu aku menemani cinta pertamaku itu berjualan keliling. Aku yang menggendong bakul, Ibu yang berteriak. Beberapa langganan Ibu bertanya ke mana sepeda gerobak kami. Ibu menjawab seadanya agar aku tak sedih. Sedang ingin jalan kaki, supaya sehat.

Aku sudah tak meratapi kejadian kemarin. Aku pun sudah tak takut pada kondisi yang bisa berubah begitu cepat. Selama ada Ibu, aku yakin semua akan baik-baik saja. 

Aku sadar, hidupku yang baik-baik saja, itu karena dia yang menjadikan semua baik-baik saja. Ibu mengajarkan padaku, harapan selalu ada. Kalau pun tak ada, ciptakan saja. Begitu katanya. Bahkan di kondisi sesulit apa pun. 

Selama kita masih bisa bersyukur, usaha apa pun rasanya akan dimudahkan. Ibuku tak pernah mengeluh. Perempuan yang tak tamat SD itu adalah guru besarku. Ada Ibu di hidupku, rasanya aku memiliki semua keindahan dunia ini. Ibuku tak mengenal arisan atau salon. Tapi di bawah kakinya yang kering dan pecah-pecah karena kutu air itu terletak surgaku.

Tetaplah sehat, Ma. Sekarang aku hanya ingin terus menjadi Firman kecil-mu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun