Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan Tak Tamat SD Itu Guru Besarku

20 Mei 2020   02:22 Diperbarui: 20 Mei 2020   17:37 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: KOMPAS.com/Shutterstock)

Mereka sudah selesai bermain bola, tepat sebelum adzan maghrib berkumandang. Jualanku habis. Ibu pasti senang. Aku bahkan tak ingin berbuka puasa dengan bekal yang diberikan ibu tadi siang. Aku ingin segera sampai di rumah. Senyum Ibu sudah terbayang di benakku.

Cuaca berubah begitu cepat. Angin mulai berhembus kencang. Aku kayuh sepedaku cepat-cepat. Belum setengah perjalanan menuju pulang, hujan deras turun. Kupaksakan mendayung sepedaku. Tapi angin kecang membuatku kesulitan.

Aku lanjutkan perjalananku dengan mendorong sepedaku. Tak ada tempat berteduh di jalur yang kulewati ini. Hujan semakin deras turun. Aku berteduh di bawah teras rumah yang hanya muat untuk jemuran itu. Rumah itu tak berpagar. Aku memarkir sepedaku tepat di sampingku. Bajuku sudah basah kuyup. Tapi tak apalah. Mungkin Ibuku sudah melewati ratusan atau bahkan ribuan hari yang lebih berat dari ini.

Aku mengejar sepeda gerobakku yang diterbangkan angin. Hatiku hancur. Gerobak Ibuku rusak sudah. Bekal yang dititipakan Ibuku sudah berhamburan bercampur air hujan. Rasanya aku ingin berteriak. Aku mengutuk diriku sendiri.

Aku memang tak layak menjadi anak yang baik. Aku tak bisa memberikan kebanggaan apa pun untuk Ibuku. Bahkan sudah sampai sedewasa ini pun aku belum bisa menyenangkan hatinya. Apa yang harus aku jelaskan pada Ibuku.

Aku mengutipi sisa-sisa perlengkapan yang kubawa. Semua sudah kotor. Tak terpakai lagi. Kudorong sepeda yang sudah hampir tak berbentuk itu.

"Assalamualaikum, Ma. Firman pulang."

Ibu tak bertanya apa pun padaku. Tak juga menunjukkan kepanikan. Dia memberiku sejumput garam di ujung lidahku. Ibuku bilang kalau habis kehujanan harus makan garam supaya tak demam. Dia lalu memberiku handuk dan menyiapkan teh hangat untukku.

"Mandilah, kau sudah basah kuyup."

Aku tak bisa lagi menyembunyikan air mataku. Hari ini aku paham bahwa laki-laki pun bisa menangis. Kupuaskan tangisku selama aku mandi membersihkan badanku.

"Makanlah. Ini teh hangat untukmu." Ibuku sudah menyiapkan semua untukku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun