Lunturnya Warna Pelangi
Rumput-rumput masih basah. Sisa hujan tadi sore. Malam sudah makin menuju larut, tapi Aruna belum juga bisa kembali kamarnya. Tugasnya sebagai supervisor catering di salah satu perusahaan tambang emas di negeri ini sering kali harus membuatnya bekerja lebih dari dua belas jam sehari.
Dari pukul empat subuh, dia sudah harus mengawasi timnya mempersiapkan sarapan untuk hampir seribu tiga ratus orang karyawan di perusahaan itu.
Dalam sehari, Aruna bisa menyaksikan timnya berganti tiga kali shift, sedang dia masih tetap harus menyelesaikan tanggung jawabnya.
Bekerja di remote site memang tak semudah bekerja di perkotaan. Jam kerja, kehidupan yang nyaris seperti di karantina, terpisah dari kehidupan bermasyarakat, perbedaan karakter dan budaya hidup sering menjadi tantangan yang menguras energy.
Aruna memang sudah terlanjur mencintai pekerjaan yang sudah dijalaninya lebih dari lima tahun itu. Segala suka duka sudah dilewatinya. Berbagai macam lokasi sudah dijajalnya.
"Na, sudah terlalu malam. Pulanglah ke kamarmu."
"Sedikit lagi, Pak. Nanggung." Aruna melanjutkan sisa pekerjaannya.
"Na, ini perintah dari atasan." Kanaka terpaksa melontarkan kalimat itu.
Aruna menghentikan pekerjaannya. Melempar pandang sejenak ke arah Kanaka. Sebelum kembali ke kamarnya, Aruna menyempatkan makan malam. Kanaka memperhatikan Aruna dari jauh. Hati Kanaka menyimpan begitu banyak pertanyaan tentang perubahan sikap Aruna.
Besok siang, selesai jam makan siang, tolong datang ke ruangan saya.