Binar Mata Ayah
Kesibukan di kantor sore itu berbeda dengan biasanya. Kebanyakan mereka sedang sibuk berkemas. Sama seperti Hafa. Mereka baru saja di PHK karena pengurangan karyawan akibat efek pandemic di negeri ini. Ingatan Hafa kembali ke awal dia wawancara di tempat itu. Hafa bahkan masih ingat persis. Baju yang dia pakai, di mana dia duduk menunggu, bagaimana perasaan dan ekspresinya ketika itu. Hanya keajaiban Tuhan yang bisa membuat dia bekerja di perusahaan tingkat multinasional dengan latar belakang pendidikannya yang hanya lulusan SMU kala itu.
Selama ini Hafa begitu gigih bekerja. Dia tak pernah menyia-nyiakan mimpinya yang jadi kenyataan. Pekerjaannya itu juga yang membuka peluang baginya untuk bisa menjadi sarjana. Seperti yang dipesankan ayahnya sebelum meninggal.
Tapi sekarang, Tuhan membalikkan semua begitu cepat. Dia tak bisa bekerja, dan tak bisa pulang kampung karena kebijakan pemerintah.
"Fa, mau pulang bareng aku?" Arumi yang kostnya berdekatan dengan Hafa menawarkan.
"Emang muat, Mi? Lihat nih barangku kalau digabungin sama barang kamu, apa muat?" Hafa melihat tumpukan kardus milik mereka.
"Kita drop dulu sekali ke kost, Fa. Setelah itu kita kembali ambil sisa barang kita." Arumi menjelaskan.
"Emang boleh, Mi. Kantor kan udah tutup?" Tanya Hafa ragu.
"Security yang jaga malam ini Mas Arfan, Fa."
Hafa berhenti membantah. Arfan adalah lelaki yang sudah bertahun mengejar cinta Arumi, bahkan rela melakukan hal konyol demi Arumi. Seratus kali menyatakan cinta pada Arumi, seratus sepuluh kali di tolak Arumi. Tapi Arfan tetap bertahan. Begitukah cinta? Hafa buta soal itu.
Dua gadis berstatus anak kost itu akhirnya mulai mengangkat barang mereka setelah mempertimbangkan dari segala arah. Hafa yang diboncengan sibuk memegangi kardus-kardus  besar berisi barang mereka.
"Fa, jangan goyang-goyang. Entar jatuh nih." Suara Arumi samar terbawa angin, tapi Hafa masih bisa menangkap yanng disampaikan Arumi.
"Maaf, Mi." Hafa sesekali harus melepas tangan kanannya dari samping kardus untuk menghapus air matanya yang mendesak ingin turun deras.
Arumi bukan cuma teman sekantor buat Hafa. Terkadang, dia sering secara mendadak terikat dengan Arumi. Entah apa alasannya. Mungkin semesta sedang menyembunyikan rahasia besar yang tak mereka pahami.
"Fa, kamu nggak mau turun?! Mau diboncengan sampai kapan, Fa?" Arumi menyadarkan Hafa dari lamunan.
Hal aneh untuk Hafa mengapa Arumi memilih kost ketimbang pulang ke rumah ibunya yang juga tinggal di Jabodetabek. Setiap kali Hafa bertanya pada Arumi jawabannya selalu sama. Ingin belajar mandiri!
"Mi, kamu apa nggak lebih baik pulang ke rumah orang tuamu?"
"Aku sudah nyaman dengan hidupku sendiri, Fa." Jawab Arumi singkat.
"Fa, kostanku habis akhir bulan ini. Kamu mau nggak se-kost denganku? Aku pindah ke sini aja ya."
"Yang benar, Mi?" Sudah sejak awal Hafa bekerja di kantor yang sama dengan Arumi, Hafa menawarkan hal itu. Tapi Arumi selalu menolak.
Arumi hanya membalas dengan anggukan.
"Ya kalau gitu, barang-barang kamu ini taruh kamarku aja, Mi. Akhir bulan kan kita tinggal angkat sisanya saja."
Barang Arumi di kost memang tidak sebanyak barang-barang Hafa. Jelas saja Arumi makan dari pesanan catering yang dia pesan bulanan. Sementara Hafa harus menyiapkan semua sendiri.
Hafa kehilangan cara untuk memberi kabar Ibunya di kampung. Dia bisa membayangkan betapa hancur perasaan Ibunya. Dia sangat merindukan perempuan yang melahirkannya.
"Fa, makan yok,,,Lapar nih. Aku yang traktir malam ini." Ajak Arumi
"Hmmm,,, aku tadi pagi masak ikan asin sambal, Mi. Kalau kamu mau, kita makan di sini aja, ya. Aku masak nasi dulu." Hafa menolak halus. Dia tak ingin menyusahkan temannya.
Arumi menurut. Dia memang sedang ingin menikmati waktu berdua dengan sahabatnya itu. Sampai sedewasa ini Arumi belum pernah makan hanya dengan lauk ikan asin. Tanpa tambahan lauk lain.
"Mi, maaf ya. Aku Cuma punya ini untuk kita makan malam ini."
"Masakanmu enak, Fa. Nanti, ajari aku masak seenak ini, ya." Arumi tersenyum  kearah Hafa.
Obrolan mereka malam itu begitu santai. Tak ada topik berat yang mereka bahas. Tidak juga membahas tentang apa yang baru saja menipa mereka.
"Mi, kamu tunggu sebentar ya. Aku ke depan gang sebentar."
"Aku ikut, Fa."
"Tak perlu. Aku cuma sebentar aja kok. Emang kamu mau naik turun tangga lagi?"
Hafa mengambil rantang kecil yang berisi nasi hangat dan ikan asin sambal yang sejak tadi sudah disiapkannya. Dia bergegas ke emperan ruko yang ada di depan gang. Dia tak ingin Arumi menunggu terlalu lama.
"Bu, Hafa datang. Ayo makan, Bu..." Hafa menghampiri seorang wanita tua yang duduk di atas kardus.
"Itu kamu, Nduk?" Perempuan tua itu sudah tidak bisa melihat jelas, apa lagi di malam hari seperti ini. Tapi indra pendengarnya masih bekerja dengan baik.
"Iya, Bu."
Bu, Hafa tidak tahu sampai kapan Hafa bisa mengantar makanan untuk Ibu. Tapi, berjanjilah. Ibu akan tetap baik-baik saja kalau pun Hafa tidak datang ke sini.
Lirih hati Hafa berucap. Hafa memperhatikan perempuan tua itu dengan hati pilu. Sesekali tangannya menghapus air mata di ujung matanya.
"Nduk,, Ibu sudah selesai makan." Perempuan tua itu mengembalikan rantang yang kosong.
"Ini minum Ibu. Hafa sudah buka segelnya." Hafa menyodorkan botol air minum kemasan.
Sepanjang percakapan mereka, tangan perempuan tua itu terus meraba kesana kemari.
"Bu, Hafa harus cepat pulang." Hafa pamit sambil memakaikan sepasang kaos kaki untuk perempuan tua itu.
Hafa mempercepat langkahnya. Arumi sudah menunggu.
Hafa tersenyum sendiri melihat Arumi sudah tertidur. Wajah Arumi seperti anak kecil saat tidur. Tangan kanannya menggenggam ujung batal yang terbuat dari kapuk. Sampai seumuran sekarang. Hafa memasangkan selimut untuk Arumi dengan sangat hati-hati. Dia tak pernah tahu, kenapa mereka begitu terikat.
Hafa mengambil Rosarionya. Duduk di sudut tempat tidur. Menggulirkan butir demi butir Rosario. Bercerita pada Tuhannya tentang apa yang terjadi sepanjang hari ini. Air matanya tumpah ketika menghadap penciptanya. Dia kehilangan lisannya. Hanya air mata yang deras berlomba turun.
Alarm hp membangunkan Hafa. Dia melihat Arumi yang masih pulas tertidur. Dia kembali mengambil Rosarionya. Hafa memang di didik dengan agama yang kuat oleh orang tuanya. Bahkan pernah bercita-cita menjadi biarawati. Hanya ayahnya tak mengijinkan. Alasannya karna Hafa adalah anak perempuan satu-satunya.
"Mi, sudah adzan. Kamu nggak sholat subuh, Mi?" Hafa membangunkan Arumi dengan lembut.
"Nggak, Fa. Lagi bulanan." Arumi menarik selimutnya kembali. Seolah belum sadar dimana dia tidur.
Hafa bergegas ke dapur. Di sana berjejer rapi kompor-kompor milik seluruh anak kost yang tinggal di sana. Ada kulkas dan meja makan yang disediakan pemilik kost untuk dipakai bersama. Mereka saling jaga dan bisa dipercaya. Selama Hafa tinggal di sana, dia tak pernah kehilangan apa pun, termasuk bumbu dapur miliknya. Hubungan mereka sangat baik.
Hafa menyiapkan ikan sarden untuk sarapannya dengan Arumi. Hanya itu yang dia punya. Hari libur begini, biasanya Hafa pergi ke pasar untuk stok bahan makanan selama seminggu. Tapi sekarang, tak ada lagi bedanya hari libur atau hari kerja.
"Mi, sarapan yok. Matahari sudah tinggi, Mi." Hafa membangunkan Arumi.
"Ya ampun, Fa. Kamu kenapa nggak bangunin aku?" Arumi terkejut melihat jam di layar hp nya.
"Dari subuh sudah aku bangunin, Mi. Tapi tidur kamu nyenyak sekali. Seperti bayi."
Arumi bergegas cuci muka. Aroma masakan Hafa membuat cacing dalam perutnya berguncang.
"Kamu semalam dari mana, Fa? Kenapa aku nggak boleh ikut?" Arumi bertanya sambil mengunyah makanan di mulutnya.
"Telanlah dulu makanan di mulutmu. Nanti kamu tersedak." suara Arumi bahkan terdengar seperti huruf O semua.
Arumi tersenyum menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Gayanya persis seperti anak kecil.
"Kamu sudah sebesar ini, tidur kok masih gengam ujung bantal, Mi."
Wajah Arumi memerah. Hafa menggodanya seperti anak kecil.
"Fa, aku pikir aku sudah terlanjur nyaman di kamarmu ini. Selesai sarapan, aku pulang ambil sisa barangku ya, Fa. Boleh kan?"
"Aku ikut, ya. Biar cepat..." jawab Hafa bersemangat.
Mereka bergegas. Cuaca agak mendung pagi itu. Matahari sesekali terasa hangat, sesekali bersembunyi.
"Mi, kamu yakin mau tinggal denganku di kamar kost yang seadanya? Kamar kostmu ini kan nyaman sekali. Di kamarku tak ada AC, Mi. Hanya kipas angin butut."
"Aku lebih butuh kamu di saat-saat seperti ini, Fa. Ketimbang AC!"
Mereka berusaha mengepak barang-barang Arumi secepatnya. Cuaca sedang cerah berawan.
Kost Arumi berbeda dengan kost Hafa. Tak perlu naik turun tangga untuk bisa sampai di kamar Arumi. Aksesnya mudah dicapai. Penjagaan keamanannya juga 24 jam sehari. Di parkiran lebih banyak berjejer mobil ketimbang motor.
Tepat setelah mereka sampai di "kost baru" Arumi, hujan turun deras. Mereka menata kamar ala perempuan. Tak ada pembagian area. Semua berbagi. Di kamar itu hanya ada satu lemari. Masih muat untuk menampung pakaian Arumi.
Bersama Hafa, Arumi mulai belajar mengerjakan pekerjaan rumah layaknya perempuan. Arumi tak pernah lagi mengirim pakaian kotornya ke laundry seperti biasa. Dia bahkan sudah bisa membedakan lengkuas dan jahe, merica dan ketumbar. Arumi mulai membenahi sholat lima waktunya yang berantakan selama ini. Diam-diam dia mulai malu melihat Hafa yang begitu taat, bahkan di kondisi buruk sekali pun.
Tak butuh waktu lama untuk Hafa merubah Arumi. Merubah Arumi tanpa melakukan apa pun. Virus kebaikan Hafa menular pada Arumi. Kurang dari sebulan mereka tinggal bersama, Arumi mantap mengenakan hijab. Dia tak pernah meninggalkan sajadah dan tasbihnya lagi. Hafa selalu menjadi alarm paling efektif untuk membangunkan Arumi ketika harus menunaikan sholat subuh.
"Fa, nanti sore aku mau ke toko hijab di blok M. Kamu mau ikut?"
"Kamu aja ya, Fa. Aku di kost aja."
Hafa hampir tak pernah bepergian sampai malam hari. Tak akan ada yang memberikan makanan kepada perempuan di emperan ruko itu.
Malam itu Hafa mengantarkan makanan untuk perempuan tua itu seperti biasa. Hafa tak pernah merasa takut soal pandemik yang sedang terjadi. Perempuan tua itu seperti sangat penting untuk dia perhatikan setiap malam. Di pagi sampai sore hari, perempuan tua itu biasa mengemis di tempat yang sama. Dengan wadah kecil dari potongan air minum kemasan.
Arumi berhenti di pinggir jalan, tepat di seberang ruko. Dia bisa melihat jelas Hafa di seberang sana. Dia melanjutkan laju motornya. Arumi tak ingin mengganggu Hafa. Dia paham, ada batas yang tak boleh dia tembus kalau Hafa tak mengijinkannya masuk.
"Udah lama sampai, Mi?" tanya Hafa begitu sampai di kost.
"Belum lama, Fa. Tadi aku lihat kamu di..."
"Itu Bu Nunung. Dia tunawisma, Fa. Sudah sejak tiga tahun lalu aku selalu menemuinya setiap malam."
Hafa akhirnya menjelaskan pada Arumi kemana dia pergi setiap malam setelah makan. Dia selalu pergi membawa rantang berisi nasi dan lauk dan botol minum kemasan. Dan pulang dengan rantang kosong tanpa botol air minum kemasan.
"Aku tak mengenalnya sebelum ini. Aku hanya berusaha memberinya makan sebisaku."
"Tapi kondisi sekarang sedang tidak sama dengan dulu." Arumi mencemaskan kesehatan sahabatnya.
"Aku tahu, Mi. Tapi ayahku dulu pesan, setingg-tingginya ilmu agama adalah kemanusiaan, Mi. Aku hanya ingin berguna, menjadi saluran berkat untuk siapa pun. Tuhan menitipkanku rejeki, juga untuk kubagi, Mi."
Ini yang membuat Arumi tak pernah kecewa bersahabat dengan Hafa. Hatinya bersih.
Andai saja papa mendidikku dengan baik, mengenalkanku pada Tuhan. Batin Arumi.
Arumi tahu, dia tak bisa melarang Hafa melakukan hal yang bahkan sudah dilakukannya selama tiga tahun. Dan dia memang tak ingin melakukannya.
"Fa, bagaimana ayahmu dan ibumu dulu mendidikmu? Sampai kamu bisa tumbuh dengan hati sebersih ini. Bahkan di era 2020 begini."
"Sama seperti yang biasa dilakukan semua orang tua pada anaknya." jawab Hafa sambil mengenang ayahnya yang sudah berpulang.
"Apa ayahmu pernah membentakmu? Menyakitimu? Memukulmu? Berbicara kasar padamu?"
"Tidak. Sama sekali tidak."
Hafa memperhatikan perubahan wajah Arumi. Ada kantung air mata di bola matanya. Dan Hafa baru sadar. Warna kedua bola mata Arumi tidak sama. Cokelat di selah kanan, coklat kehitaman di sebelah kiri.
"Papaku melakukan semua itu padaku, Fa. Dia sering memukulku waktu aku kecil. Mendorongku sampai aku terjatuh dan terbentur ujung meja. Dan mata kananku buta sejak hari itu."
Hafa tak bertanya apa pun. Dia tahu yang dibutuhkan Arumi hanya pelukan. Dia meraih tubuh Arumi ke dalam peluknya.
"Batinku terpukul di awal-awal mata kananku tak bisa melihat lagi. Mamaku menceraikan papa setelah kejadian itu. Aku sempat trauma sampai harus menjalani therapi dengan psikolog anak. Tapi entah kenapa, setelah bertahun-tahun hidup dengan baik berdua saja dengan mama, mama memutuskan untuk rujuk dengan papa. Itu kenapa aku lebih memilih tinggal sendiri ketimbang harus bersama mereka."
Sebelumnya Hafa tak pernah berpikir Arumi punya kisah sesedih ini. Di mata Hafa, kehidupan Arumi begitu tercukupi.
"Oh ya, Fa. Ini lelaki yang dulu mendonorkan mata kanannya untukku. Namanya Walden. Sampai sekarang aku masih meyimpan fotonya." Arumi menunjukkan fotonya bersama lelaki separuh baya yang ada di layar hp nya.
Air mata Hafa tumpah. Sekarang dia paham kenapa mereka begitu terikat. Rahasia yang disimpan semesta selama ini terjawab.
"Dia ayahku, Mi."
Sekarang aku paham. Ayah benar! Dia tak pernah meninggalkanku. Dia bahkan menuntun mata ini agar bisa tetap menatapnya. Ternyata ada bagian dari Ayah yang begitu dekat denganku sudah selama bertahun-tahun ini. Dia tepati janjinya.
Hafa melihat Arumi tersenyum. Kali ini dia tak hanya melihat senyum Arumi. Dia juga melihat Ayahnya tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H