"Itu Bu Nunung. Dia tunawisma, Fa. Sudah sejak tiga tahun lalu aku selalu menemuinya setiap malam."
Hafa akhirnya menjelaskan pada Arumi kemana dia pergi setiap malam setelah makan. Dia selalu pergi membawa rantang berisi nasi dan lauk dan botol minum kemasan. Dan pulang dengan rantang kosong tanpa botol air minum kemasan.
"Aku tak mengenalnya sebelum ini. Aku hanya berusaha memberinya makan sebisaku."
"Tapi kondisi sekarang sedang tidak sama dengan dulu." Arumi mencemaskan kesehatan sahabatnya.
"Aku tahu, Mi. Tapi ayahku dulu pesan, setingg-tingginya ilmu agama adalah kemanusiaan, Mi. Aku hanya ingin berguna, menjadi saluran berkat untuk siapa pun. Tuhan menitipkanku rejeki, juga untuk kubagi, Mi."
Ini yang membuat Arumi tak pernah kecewa bersahabat dengan Hafa. Hatinya bersih.
Andai saja papa mendidikku dengan baik, mengenalkanku pada Tuhan. Batin Arumi.
Arumi tahu, dia tak bisa melarang Hafa melakukan hal yang bahkan sudah dilakukannya selama tiga tahun. Dan dia memang tak ingin melakukannya.
"Fa, bagaimana ayahmu dan ibumu dulu mendidikmu? Sampai kamu bisa tumbuh dengan hati sebersih ini. Bahkan di era 2020 begini."
"Sama seperti yang biasa dilakukan semua orang tua pada anaknya." jawab Hafa sambil mengenang ayahnya yang sudah berpulang.
"Apa ayahmu pernah membentakmu? Menyakitimu? Memukulmu? Berbicara kasar padamu?"