"Kelihatannya dia ini memang gila kerja. Urusan percintaan buatnya itu urusan nomor sekian makanya dia gak gampang jatuh cinta sama kamu, atau ke cewek-cewek lain. Hmm... saya lihat dia pernah punya duka yang sangat dalam. Mungkin saudara atau orang tuanya meninggal dunia ... "
Rara membenarkan sekaligus meyakinkan diri kalau dukun yang didatangi ini memang bukan dukun abal-abal. "Ya, Mbah. Ibunya meninggal dua tahun lalu. Setahu saya, dia memang sangat dekat dengan ibunya."
Mbah Roy mengembalikan HP Rara lalu mengangguk mantap.
"Dia polos. Auranya cocok dengan ilmu pelet saya. Jadi kemungkinan besar kita akan berhasil. Oh ya, DP-nya kamu bawa tunai atau mau pakai kartu debet?"
"Hmm... tunai saja, Mbah."
"Oke, transaksinya nanti saja ya, setelah ritual selesai," Mbah Roy berdiri dan memberi syarat kepada Rara untuk mengikutinya.
Mereka pun berpindah lokasi ke ruangan lain. Ruangan tersebut dan ruang tamu dipisahkan dinding kaca tebal.
Ruangan ini yang sepertinya dijadikan tempat ritual oleh Mbah Roy. Ada beberapa kursi dan di tengah-tengah ruangan ada semacam altar dari kayu hitam. Di atas meja sudah ada beberapa barang-barang perdukunan: keris, pedupaan, lilin merah, beberapa kitab tua, kendi dan wadah keramik berisi aneka kembang.
Aroma lavender berganti aroma kemenyan dan suhu ruangan menghangat. Rara menyadari tidak ada AC di ruangan itu, karena beberapa lubang ventilasi terbuka dan terhubung dengan udara dari luar.
"Nah, letakkan HP kamu di atas meja. Mode screensaver dimatikan dulu ya. Foto si cowok harus tetap nongol selama ritual. Lalu kamu cukup duduk dengan tenang selama saya membaca beberapa mantra. Tidak lama kok."
Rara mengangguk dan mengikuti instruksi Mbah Roy.