Gak. Sekarang aku sudah insaf, Niken. Sekarang aku sudah jarang sekali muji cewek, balasku.
Dia membalas dengan emoticon tertawa.
Kami pun berbalasan pesan beberapa kali sebelum bertukar nomor whatsapp. Dan tahu-tahu percakapan kami berpindah ke jalur telepon. Kami saling menanyakan aktivitas dan keadaan masing-masing. Ternyata dia juga masih single, sama sepertiku. Kami juga bertukar kabar tentang teman-teman kami dulu.
Mendengar suara Niken yang mendayu-dayu itu sukses membuatku nostalgia. Suaranya masih sama renyahnya, tapi saat ini terdengar lebih mature dan seksi. Dia juga lebih cerdas menanggapi semua obrolan dan candaanku, berbeda dengan dulu. Dia di kelas anak yang introver. Seingatku dia tidak punya banyak kawan, apalagi bergabung di geng anak-anak cewek.
Dalam beberapa menit aku langsung jatuh cinta. Walaupun baru jatuh cinta pada suaranya. Entah mengapa, aku langsung merasa ada kepingan-kepingan yang hilang dan ditemukan kembali.
Niken sendiri memaksaku mengingat kalau aku pernah membelanya suatu hari saat dia diganggu anak-anak cowok dari SMA tetangga. Itu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Padahal aku sudah lupa peristiwa itu. Dulu sekolah kami memang sering bentrok di jalanan, jadi mungkin kisah itu hanya kisah biasa-biasa saja untukku.
Tahu-tahu jarum jam sudah berada di angka 10. Jika dalam beberapa menit bercakap-cakap aku sudah jatuh cinta, bagaimana jika dalam puluhan menit?
Tapi ucapan Niken berikutnya benar-benar di luar dugaanku.
"Eh, Dre. Tahu gak? Aku ini pengurus cabang Persatuan Pendukung Bubur Ayam Diaduk, loh. Aku dapat medsos kamu tadi dari salah satu teman yang barusan twitwar sama kamu," lalu tertawa renyah.
"Masa sih?" tanyaku tidak percaya.
Dia mengiyakan.