"Tapi kita tetap bisa temenan kan sekalipun beda idealisme?" sahutnya lagi.
"Oh, tentu saja. Malah aku jadi kepikiran, kapan-kapan kita rendezvouz di kedai bubur ayam, lanjut ngobrol di sana. Cara makan bubur ayamnya, biarlah jadi ritual masing-masing. Bagaimana?"
"Boleeh," Niken menyahut antusias. "Lagipula, mau diaduk atau tidak diaduk itu kan kembali ke selera masing-masing ya. Menurut aku sama saja, sih. Toh dalam perut kita kan ujung-ujungnya semuanya bercampur aduk."
"Betul," sahutku. Kami pun tertawa berbarengan.
Tidak butuh waktu lama, kami sudah membuat janji bertemu besok pagi-pagi untuk sarapan di salah satu kedai bubur ayam populer di kota kami. Setelah itu kami pun berpamitan dan mengakhiri percakapan panjang itu.
Tidak sabar rasanya menunggu besok pagi tiba. Sesekali mencoba makan bubur ayam diaduk sepertinya seru juga ya.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H