Sekarang jam dinding di kamar sudah menunjuk angka 8. Hari ini pekerjaan di kantor lumayan banyak, jadi aku sampai cukup malam di kost. Setelah mandi dan berganti pakaian aku pun menghempaskan tubuh di atas kasur lalu mulai menelisik satu per satu notifikasi di layar gawai.
Masih ada jejak-jejak twitwar sore tadi dengan salah satu pendukung garis keras bubur ayam diaduk. Tapi dia sepertinya newbie. Juga ada notifikasi dari dua grup whatsapp yang berakhir pada topik bubur ayam diaduk versus tidak diaduk. Setelah membaca chat-chat bagian akhir, aku tersenyum. Pernyataan dari beberapa simpatisan bubur ayam diaduk itu bisa dipatahkan dengan mudah. Tapi nanti saja aku membalasnya.
Perhatianku tertuju pada pesan pribadi di aplikasi instagram. Dari seseorang bernama Niken. Kami belum saling follow, tapi nama itu sepertinya sangat familiar. Dari foto profilnya sepertinya aku juga pernah mengenalnya.
Aku pun menyetujui request pesan dan pesannya muncul di layar gawai.
Hai, Andre. Aku Niken. Masih ingat? Kita teman kelas di kelas 12. Kamu yang selalu pinjam buku catatan aku.
Aku pun melayangkan pikiran ke masa-masa SMA dulu dan ... menepuk jidat. Kenapa bisa lupa ya? Dia ini kan cewek paling pintar di kelas dan kursinya tepat berada di depan mejaku. Tapi dulu seingatku penampilannya biasa-biasa saja. Tidak pernah pakai riasan seperti anak cewek yang lain, kacamatanya tebal, pakai behel, rambut panjangnya seperti tidak terurus. Tidak ada menarik-menariknya.
Tapi sekarang, dia manis sekali. Rambutnya masih tetap panjang, tapi sudah licin seperti rambut selebritis, sudah tidak pakai kacamata atau behel, kulitnya bersih dan mulus. Ditambah dengan sapuan gincu merah merona, dia bisa dapat skor 95 dari skala 100 untuk penampilan.
Hai, Niken. Sampai pangling aku. Kamu tambah cantik sekarang. Bagaimana kabar kamu?, balasku.
Ternyata dia juga sedang online, sehingga pesan itu dibalas tidak sampai semenit kemudian.
Alhamdulilah baik, Dre. Hehe... terima kasih. Masih suka gombal menggombal kamu rupanya
Aku tersenyum.