Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gara-gara Nonton Pembukaan PON

3 Oktober 2021   20:32 Diperbarui: 3 Oktober 2021   20:47 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, pembukaan Pekan Olahraga Nasional berlangsung dengan meriah. Mata manusia setanah air tertuju ke Papua, tempat even olahraga tersebut diselenggarakan.

Tidak terkecuali Henry dan Ajeng, pasangan suami istri yang pernah jadi penduduk di pulau paling timur itu selama 5 tahun lamanya. Saat itu Henry ditugaskan perusahaan mengawal operasional cabang baru di Merauke. Saat itu, Henry dan Ajeng baru menikah beberapa bulan.

Saat ditugaskan pindah kembali ke Jakarta, Tom, si sulung masih TK dan Adi, si bungsu belum genap setahun usianya.

Saat ini kedua anak mereka sudah tumbuh dewasa. Adi sudah masuk tahun pertama SMA dan Tom sudah kuliah semester 4 di salah satu universitas swasta.

Kisah saat bocah-bocah masih kecil dan susah senang selama tinggal di Papua kembali muncul di ingatan mereka setelah menonton pembukaan perhelatan olahraga tersebut. 

Gencarnya pembangunan infrastruktur di Papua membuat mereka ikut senang, karena Papua juga pernah menjadi bagian dari hidup mereka.

Kini keduanya nyaris menginjak kepala 5. Tapi berbeda dengan Ajeng yang sangat peduli dengan kesehatan pribadi, Henry malah sebaliknya. 

Henry gemar menyantap fast food, minuman bersoda dan jarang sekali berolahraga. Akibatnya perut semakin membuncit dan gelambirnya mulai tumbuh di sana-sini. Gaya hidup yang kurang sehat ini membuat gejala-gejala penyakit kardiovaskular mulai sering menyapa dirinya.

Berbeda dengan Ajeng. Walaupun sejak si bungsu masuk sekolah, dia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga penuh, dia tetap memberi perhatian pada penampilan dan kesehatan pribadi. Dia dan sejumlah ibu-ibu kompleks malah jadi anggota tetap di sebuah klub kebugaran.

Ajeng sudah sering mengingatkan suaminya untuk bergaya hidup lebih sehat.

"Bapak ini, sudah dibilang jangan terlalu sering minum minuman bersoda."

"Pak, udah hampir jam 12 ini. Udah dulu kerjanya, besok lagi dilanjutkan"

"Yuk, Pak, olahraga pagi..."

dan aneka nasihat kesehatan lainnya.

Tapi nasihat-nasihat tersebut seperti masuk telinga kiri dan keluar di telinga kiri juga.

Hanya saja, ada keajaiban setelah perhelatan PON.

Henry mulai bangun lebih pagi dari biasanya untuk jalan atau berlari kecil keliling kompleks. Awalnya hanya satu atau dua kali seminggu, tapi lama kelamaan nyaris tiap hari dilakoni. Dia pun mulai mengurangi kebiasaan makan dan minum yang kurang baik.

Beberapa hari lalu, saat Adi berulang tahun dan banyak minuman bersoda di dalam kulkas, Ajeng memperhatikan Henry hanya minum satu gelas kecil saja, setelah itu tidak lagi sama sekali. 

Dua minggu terakhir ini malah Henry jarang mengambil nasi saat makan malam. Dia hanya mengisi perut dengan buah dan sayuran, mirip diet yang biasa dilakukan Ajeng.

Ajeng belum menemukan penyebab pasti perubahan kebiasaan itu. Pernah dia iseng bertanya, tapi Henry hanya senyum-senyum kecil lalu menyahut, "Lah, kan kamu sendiri yang suruh olahraga, kurangi gorengan, cola dan lain-lain. Kamu gak senang aku berubah ya, Ma?"

"Ya, senang dong, Pa, hanya pangling saja."

Sejak itu, Ajeng tidak pernah bertanya lagi, takut suaminya berubah pikiran kembali.

Hanya saja sore ini dia kembali kepikiran, karena sang suami pulang kantor sambil tersenyum sumringah.

"Sebulan ini aku turun 10 kilo, Ma."

"Serius?" Ajeng menyahut tidak percaya.

"Bukan lagi serius, tapi 9 rius," sahut Henry lalu terkekah dan bergegas ke kamar mandi.

Sudah sejak dulu Henry memang berjuang menurunkan berat badan. Tapi ya karena mungkin niatnya setengah hati, jadi hasilnya juga tidak maksimal. Turun 2 kilo naik 3 kilo, turun 4 Kg tapi tidak lama kemudian naik 6 kilo.

Tapi kali ini 10 kilo? Wow! Ini pencapaian yang luar biasa.

Ajeng kini jadi bingung. Dia harus gembira atau malah takut? Jangan-jangan, niat Henry biar lebih kurus karena .... 

Ah, Ajeng berusaha mengusir jauh-jauh pikiran negatifnya. Dia takut Henry sedang jatuh cinta pada wanita lain.

Lampu di kepalanya tiba-tiba bernyala terang. Dia ingat Tamara, salah satu staf administrasi di bawah Henry. Mereka cukup akrab karena sering bertemu di acara-acara keluarga yang dihelat perusahaan Henry. Mereka klop satu sama lain karena sama-sama suka masak dan kesehatan, walaupun usia keduanya terpaut jauh.

Ajeng menengok jam dinding. Belum sampai jam 7 malam. Mestinya belum terlalu malam untuk menelepon Tamara, mumpung Henry sedang bercengkerama dengan anak-anak di luar kamar.

Tidak butuh waktu lama sebelum terdengar suara sopran dengan nada riang dari seberang.

"Halo, Mbak Ajeng... "

"Halo, Ra. Kamu apa kabar?"

"Baik, Mbak. Duh, sudah lama tidak ketemu-ketemu nih."

Ajeng mengiyakan lalu tertawa renyah. Mereka pun bicara ngalor ngidul layaknya dua sahabat lama yang baru bertemu lagi, sampai Ajeng membuka inti pembicaraan.

"Ra, aku mau tanya sesuatu sama kamu? Tapi please ... jangan bilang-bilang bapak ya," volume suara Ajeng mengecil.

"Iya, Mbak. Kok ... jadi serius gini?" nada Tamara juga terdengar berubah.

"Kamu tahu sesuatu gak, kenapa bapaknya Tom akhir-akhir ini jadi getol banget ngurusin badan? Tadi dia lapor turun 10 kilo. Ini sejarah banget loh!"

Tamara terdiam sejenak.

"Jangan-jangan dia punya selingkuhan di kantor, Ra?" todong Ajeng lagi.

"Aku sebenarnya bingung mau jawab bagaimana, Mbak?"

Napas Ajeng mulai tidak beraturan. "Udah jawab apa adanya saja."

"Ehm, awalnya aku juga punya pikiran kayak gitu."

"Terus, terus ...?"

"Beberapa hari lalu, aku tidak sengaja mencuri dengar bapak ngobrol dengan teman-teman dari bagian logistik di kantin. Kan memang banyak tuh yang tanya apa resepnya kok jadi agak kurusan, dan mulai rajin olahraga gitu. Mm... sepertinya bapak ini terinspirasi dari Pak Jokowi, Mbak."

"Haah? Pak Jokowi?" Ajeng mengernyitkan kening.

"Iya. Katanya masak Pak Jokowi yang sudah punya cucu dua saja, masih lincah lari dan kocek bola kesana kemari. Sedangkan bapak, di umur segini, lari 10, 20 meter saja sudah ngos-ngosan. Padahal Pak Jokowi kurang sibuk apa sebagai presiden, masa kita-kita bisa kalah! Kurang lebih begitu percakapan mereka, Mbak."

Ajeng pun mengangguk-angguk kecil. Dia teringat sepotong adegan pada pembukaan PON sebulan yang lalu. Wajahnya pun terlihat lebih lega.

"Kamu tuh, Ra. Gitu aja kok bingung. Aku tadi sampai agak panik gimana gara-gara kamu jawab gitu."

Suara tawa Tamara bergema di telinga Ajeng. "Sengaja, Mbak, mau godain Mbak Ajeng. Hihi. Masa iya sih, Mbak sampai kepikiran sejauh itu? Pak Henry itu suami setia loh. Di kantor itu bapak sering sekali muji Mbak Ajeng. Apa-apa Mbak Ajeng."

"Ah, masak sih?" hidung Ajeng kempang kempis karena tersipu-sipu.

"Bener, Mbak."

Saat itu terdengar suara Henry dari luar kamar, panggilan makan malam.

"Eh, Ra, aku sudah dipanggil makan malam tuh. Makasih banyak ya informasinya. Jangan lupa, ini percakapan rahasia kita berdua. Hehe"

"Siap, Mbak Ajeng."

Setelah pamit satu sama lain, mereka pun mengakhiri pembicaraan.

Misteri perubahan gaya hidup Henry kini terpecahkan. Ternyata gara-gara nonton pembukaan acara PON. Ajeng sudah bisa tersenyum lebih plong sekarang.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun