Napas Ajeng mulai tidak beraturan. "Udah jawab apa adanya saja."
"Ehm, awalnya aku juga punya pikiran kayak gitu."
"Terus, terus ...?"
"Beberapa hari lalu, aku tidak sengaja mencuri dengar bapak ngobrol dengan teman-teman dari bagian logistik di kantin. Kan memang banyak tuh yang tanya apa resepnya kok jadi agak kurusan, dan mulai rajin olahraga gitu. Mm... sepertinya bapak ini terinspirasi dari Pak Jokowi, Mbak."
"Haah? Pak Jokowi?" Ajeng mengernyitkan kening.
"Iya. Katanya masak Pak Jokowi yang sudah punya cucu dua saja, masih lincah lari dan kocek bola kesana kemari. Sedangkan bapak, di umur segini, lari 10, 20 meter saja sudah ngos-ngosan. Padahal Pak Jokowi kurang sibuk apa sebagai presiden, masa kita-kita bisa kalah! Kurang lebih begitu percakapan mereka, Mbak."
Ajeng pun mengangguk-angguk kecil. Dia teringat sepotong adegan pada pembukaan PON sebulan yang lalu. Wajahnya pun terlihat lebih lega.
"Kamu tuh, Ra. Gitu aja kok bingung. Aku tadi sampai agak panik gimana gara-gara kamu jawab gitu."
Suara tawa Tamara bergema di telinga Ajeng. "Sengaja, Mbak, mau godain Mbak Ajeng. Hihi. Masa iya sih, Mbak sampai kepikiran sejauh itu? Pak Henry itu suami setia loh. Di kantor itu bapak sering sekali muji Mbak Ajeng. Apa-apa Mbak Ajeng."
"Ah, masak sih?" hidung Ajeng kempang kempis karena tersipu-sipu.
"Bener, Mbak."