"Ah, kamu mulai melunak, kawan. Kita mestinya punya kepentingan yang sama di sini."
"Tidak. Kepentinganku hanya bisnis biasa. Tapi kalian? Entah apa yang kalian pikirkan. Di saat-saat seperti ini kudeta bisa berujung ke kekacauan politik, bencana kemanusiaan, perang saudara. Sudah siapkah kalian melihat itu semua terjadi di depan mata kalian?"
"Tidak perlu khawatir. Kami sudah menyiapkan tumpukan skenario untuk mengantisipasi hal tersebut."
Charlie tertawa kecil. "Berarti mestinya kalian juga sudah punya skenario jika aku harus membuatmu kecewa kali ini, Kawan. Saranku, sabarlah menunggu dua tahun lagi. Saat itu kalian memilih presiden baru, bukan?"
"Tapi momentum seperti ini mungkin hanya akan datang seribu tahun sekali," terdengar nada kecewa pada suara Bram.
"Bisa jadi. Tapi camkan hal ini," Charlie mengambil jeda untuk memikirkan kata-kata apa yang paling tepat untuk menyampaikan maksudnya. Â "Aku sudah melumuri tanganku dengan dosa dan darah selama setengah dari waktu hidupku. Tapi rasanya, aku tidak bisa memaafkan diriku kalau harus menginjak-injak bangsa sendiri yang sedang menderita untuk kepentingan segelintir orang saja. Camkan itu!"
Keduanya terdiam sebelum Charlie melanjutkan lagi kata-katanya.
"Aku akan makan pagi bersama cucuku sebentar lagi. Mungkin kamu juga sebaiknya mulai menikmati sisi kehidupanmu yang lain, Kawan."
Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir.
Bram sebenarnya sangat tertohok dengan kata-kata Charlie barusan. Tapi dia tidak ingin kehilangan muka di depan kawan-kawannya jadi dia harus memikirkan sesuatu yang lain.
Kopi hitam yang baru saja diantar ajudannya diseruput pelan-pelan.