"Maafkan aku, Kawan. Oh ya, bagaimana kabarmu di sana? Aku turut prihatin, karena Republik Besi sudah jadi episentrum baru pandemi sekarang."
"Aku sehat. Virus itu tidak akan berani menyentuh ujung pintu gerbangku," sahut Bram sambil tertawa.
"Syukurlah. Apa yang membuatmu tiba-tiba meneleponku?" tanya Charlie.
Ah, typical orang barat, langsung to the point. Bram pun menghela napas panjang, sebelum mengutarakan maksudnya dengan hati-hati.
"Aku mohon bantuan kecil untuk sebuah rencana besar,"
"Aku menyimak," sahut Charlie. Nadanya juga terdengar lebih serius.
"Kami sedang merancang sebuah ... katakanlah kudeta. Kamu punya segudang pengalaman untuk hal itu."
"Teruskan ..."
"Wakil presiden bukan masalah. Jika tujuan ini berhasil, aku bisa mengatur agar bisnismu kembali berjaya di republik ini. Aku tahu, kawan, beberapa proyek jangka panjangmu terjegal karena kebijakan-kebijakan presiden keras kepala itu."
Charlie terdiam sejenak. Dalam waktu beberapa detik, dia sudah mencium sebuah konspirasi yang sangat berani dari kalimat Bram.
"Hm, bagaimana ya? Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Bukankah seharusnya saat ini kalian melupakan sejenak bisnis dan bahu membahu mengatasi pandemi? Mungkin saja aku bisa membantu. Tapi, kami juga sedang berjuang habis-habisan mengatasi masalah kesehatan ini. Keuangan, pikiran. Kemudian, kalian tahu kan? Presiden kalian punya koneksi yang bagus dengan negara-negara besar di timur dan selatan. Ekonomi mereka dua bulan ini mulai hijau. Mereka pasti bersedia menggelontorkan dana super besar untuk membantu presiden kalian, jika ada masalah. Apa perhitungan kalian sudah bulat?"