Malam itu begitu dingin, karena langit dipenuhi hujan. Guruh dan petir bersahut-sahutan. Tiba-tiba seorang malaikat jatuh di atap rumah kami. Sayapnya rusak parah terkena sengatan petir berdaya ribuan volt yang menghalangi jalur terbangnya. Hampir seluruh sayap yang mestinya putih bersih menjadi legam dan meninggalkan bau hangus yang tajam.
Selain sayapnya yang terluka, malaikat itu terlihat baik-baik saja. Wajahnya putih bersih. Awalnya kukira karena pucat menggigil, tapi bukan. Wajahnya memang putih berkilau. Siapa pun yang memandangnya seketika merasa teduh dan damai.
Sejak malam itu aku, istri dan anak-anakku sepakat merawat malaikat itu di dalam rumah kami.
Dia rupanya bisu. Tapi kami punya cara sendiri untuk berkomunikasi. Entah mengapa, kami seperti bisa saling memahami maksud hati tanpa perlu berkata-kata. Bahasa kalbu, telepati, atau entah apa namanya cara berkomunikasi seperti itu.
Dia bertanya berapa lama diizinkan tinggal, dan kami pun menjawab selama yang dia butuhkan. Kebetulan di lantai dua ada kamar tamu yang kosong dan kami jarang sekali menerima tamu di rumah.
Oh ya, sayapnya yang rusak terkena sambaran petir sudah dilepaskan dan kami menguburnya di belakang rumah.
Karena dia seorang malaikat, kami memanggilnya Angel. Dia tidak keberatan dengan nama itu. Clarice, istriku, memberinya sebagian dari koleksi pakaiannya. Untunglah dia bisa makan dan minum seperti manusia pada umumnya, jadi dia tidak menemui kesulitan tinggal bersama kami.
Dia selalu lebih dahulu bangun daripada kami semua. Aku pernah mendapatinya jam 5 pagi di beranda atas menatap bintang-bintang dengan mata yang sendu. Ada percik kerinduan di antara matanya.
Aku bisa memahami bagaimana rasanya rindu itu, sama seperti kerinduan untuk pulang ke kampung halaman. Aku selalu mencoba menanyakan bagaimana caranya kami dapat membantu dia kembali pulang, bagaimana cara menumbuhkan atau mendapatkan kembali sayapnya, tapi dia nampak bingung bagaimana menjawabnya.
Tapi suatu pagi kami menemukan jawabannya.
Dia turun dari kamarnya dengan gembira. Sesampai di meja makan dia membuka tangannya dan memperlihatkan kepada kami sehelai bulu, seperti bulu angsa, hanya lebih panjang, berwarna putih perak dan menebarkan wangi seperti aroma melati.
Kami memandang helai bulu itu dengan tatapan tak mengerti. Dia pun membuat gerakan mengatupkan kedua tangan lalu menjelaskan maksudnya kepada kami, seperti biasa, dari hati ke hati.
Kini giliran kami, aku, Clarice, serta Hans dan Joice anak-anak kami yang saling memandang dengan gembira. Memang tadi malam sebelum tidur kami berdoa bersama-sama di ruang doa. Kebiasaan berdoa bersama keluarga ini sudah lama tidak kami lakukan lagi.
Rupanya, Angel berhasil mengubah sedikit energi dari doa bersama kami menjadi sehelai bulu berwarna putih itu. Semakin sering kami berdoa bersama, semakin banyak bulu yang bisa dibuatnya dan nantinya helaian-helaian bulu itu akan disulamnya menjadi sayap yang baru.
Sejak hari itu, kami pun tidak pernah melewatkan sehari pun tanpa doa keluarga. Akhirnya tanpa kami sadari doa bersama telah menjadi kebiasaan yang melekat kuat dalam keluarga kami. Sesibuk apa pun, kami selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul dan berdoa bersama.
Hari, bulan dan tahun berlalu. Suatu pagi, Angel turun dan memamerkan sayap malaikatnya. Kami semua terperangah, helaian-helaian bulu angsa telah menjadi sayap yang besar dan kuat. Bahkan seingatku, lebih besar dari sayap yang kami kubur di halaman belakang.
Angel mengizinkan Hans dan Joice mengelus-elus sayap itu. Aroma melati pun menguar di ruang makan.
Tidak lama lagi, sayap ini akan sempurna, demikian bahasa kalbu dari Angel. Aku dan keluarga pun mengangguk bahagia. Kami tidak sabar menunggu waktu itu tiba.
Beberapa hari kemudian, Angel tidak kunjung turun untuk sarapan bersama seperti biasa. Clarice pun naik ke lantai dua untuk mengetuk kamarnya.
"Pa, ke sini, Pa!"
Tak lama berselang, Clarice berteriak dari atas. Aku diikuti anak-anak pun bergegas menapaki anak tangga.
"Ada apa?" tanyaku. Clarice sudah berada di pintu kamar Angel yang terbuka dan mempersilakan aku melihat ke dalam.
Di dalam kosong melompong. Jendela kamar terbuka lebar-lebar.
"Kok tante Angel tidak ada?" tanya Joice.
"Apa tante Angel sudah pergi, Pa?" sambung Hans.
"Sepertinya begitu," sahutku lalu beranjak ke atas tempat tidur. Ada sehelai kertas yang sudah ditulisi dengan rapi, diletakkan di atas seprei.
Kami pun membaca surat itu bersama-sama.
Dear Paul, Clarice, Hans dan Joice yang baik. Mohon maaf sebesar-besarnya aku tidak berpamitan sebelum pergi. Aku akan sedih sekali jika melakukan hal itu, jadi aku rasa sebaiknya pergi diam-diam dan menuliskan surat ini sebagai ucapan perpisahan.
Terima kasih sudah menjagaku dengan baik selama ini. Terima kasih sudah membantuku membuat kembali sayap agar bisa segera kembali ke surga dengan doa-doa tulus dan suci kalian. Aku tidak tahu bagaimana membalas semua kebaikan itu.
Tapi dari setiap doa yang kalian panjatkan kepada Tuhan, aku bisa mengetahui kebahagiaan akan selalu meliputi kalian denganku atau tanpa aku sekali pun.Â
Aku akan selalu merindukan kalian. Salam damai dariku, Angel.Â
 "Dia benar-benar pergi ya," ucap Clarice. Aku mengangguk. Setelah itu kami larut dalam keheningan beberapa waktu.
Joice memecahkan keheningan itu. "Seperti bau melati, ya."
Aku membenarkan.
Clarice beranjak ke atas meja rias. Ada sesuatu di  sana. Angel ternyata meninggalkan tiga helai bulu sayap malaikatnya di dalam vas bunga, mungkin sebagai kenang-kenangan untuk kami.
Kami sedih dan bahagia sekaligus. Sedih karena Angel yang selama ini telah memberi warna pada keluarga kami, telah pergi kembali ke surga. Tapi kami juga bahagia, karena Angel telah kembali ke tempatnya yang semestinya.
Angel bukannya tidak memberi apa-apa untuk kami. Selain meninggalkan helai-helai beraroma melati, dia juga berhasil membuat keluarga kami lebih kuat dan tegar dalam doa dan kebersamaan.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H