“Ya. Walaupun ini sebagian besar adalah lukisan langit dan segala hiasannya, aku melihat emosi yang kuat dari setiap lukisan. Bahagia, sedih, amarah… Seperti lukisan ini,” aku menunjuk lukisan yang berdiri tersandar di dinding dekat jendela. Bella mendekatkan pelitanya. Lukisan itu adalah lukisan awan kelabu dengan garis-garis halilintar yang tegas. Langit sedang marah saat itu, aku seperti sangat familiar dengan pemandangan ini. “…ada kesedihan yang dalam dan amarah yang kuat sekaligus.”
Bella mendekat dan menyentuhkan telunjuknya di atas salah satu sisi lukisan.
“Benar… langit seperti sedang marah saat itu. Lukisan ini aku buat sekitar dua tahun yang lalu.”
Ah, benar saja. Pasti ini dibuat Bella pada saat ayah pergi untuk selama-lamanya.
“Tidak salah lagi. Ini lukisanku..,” gumamku.
“Maaf, Tuan…”
“Aku juga seorang pelukis, Nona Bella. Tapi aku melukis dengan awan, purnama, hujan dan halilintar dengan langit sebagai kanvasnya.”
“Anda seorang pelukis langit, Tuan? Jadi mitos itu benar adanya?”
Terlihat binar-binar bintang dalam mata Bella. Dia benar-benar bergairah, tanpa ragu sedikitpun. Rasanya belum pernah aku melihat manusia bumi yang hatinya setulus ini. Aku pun mengangguk mantap.
“…dan Ephamus itu adalah kota di atas awan?”
“Ya, Nona Bella.”