Sore ini mereka dipanggil Bang Manto lagi untuk berkumpul. Lokasi yang dipilih adalah rumahnya sendiri yang saat ini sedang sepi karena anak istrinya bertandang ke rumah orang tua mereka.
Tidak ada yang mengerti ada apa lagi kali ini, tapi hampir semua sesama tukang ojek pangkalan hadir. Jumlah mereka saat ini 13 orang, termasuk Seno.
Bang Manto kembali berorasi mengenai persaudaraan sebagai sesama tukang ojek. Di ujung pidatonya dia bahkan berinisiatif membentuk paguyuban dan memberi nama kepada paguyuban tukang ojek pangkalan itu.
“Sayang, Badrun dan Tamil tidak hadir kali ini karena mereka lagi ada urusan keluarga. Tapi jumlah kita sekarang cukup lengkap. Kita harus memberi nama kepada paguyuban kita ini,” Bang Manto berapi-api. “Dia lalu meletakkan mangkok besar di depan mereka. Mangkok itu berisi air bening, nyaris memenuhi mangkok.
“Bagaimana kalau kita beri nama OPND?!” serunya antusias sembari mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.
Yang lain saling memandang tanda tak paham.
“OPND itu apa, Bang?” tanya Doni, tukang ojek yang paling gempal di antara mereka.
“Haah! Itu pertanyaan yang kutunggu-tunggu, bung Doni,” Bang Manto menepuk-nepuk bahu Doni gembira, lalu mengambil pisau kecil yang sejak tadi tergeletak di atas lemari. Yang lain menatap ngeri.
“OPND itu kepanjangan dari… nah dengar baik-baik. Ojek Pangkalan Never Die! Yang artinya Ojek Pangkalan takkan mati.”
Terdengar gumam serempak dari para pendengar, entah tanda kagum atau tanda tak mengerti.
“Sekarang sebagai tanda persatuan kita yang takkan terpisahkan…,” ujar Bang Manto lagi. “...kita akan menyatukan darah kita di tempat yang bersejarah ini.”