Seno memandang telepon cerdas barunya dengan galau. Masih terngiang ucapan kakak perempuan satu-satunya beberapa hari yang lalu,
“Kakak baru-baru transfer sedikit uang di rekening kamu, kemarin ada rezeki karena baru terima bonus karyawan akhir tahun. Tapi jangan dipakai macam-macam duitnya, ya. Ganti HP jadul kamu itu dengan HP 4G, biar sesekali bisa video call sama ibu di sini. Juga bisa buat daftar jadi ojek online, seperti permintaan kamu bulan lalu. Syukur-syukur kamu bisa bantu ibu sama kakak disini. Tapi jangan keenakan ya. Mesti ingat kuliah juga, cari duitnya kalau lagi gak kuliah saja. Jangan suka bolos…”
Yang bikin galau, beberapa jam yang lalu, dia bersama beberapa bapak-bapak sesama ojek pangkalan kompleks perumahan, baru saja mendengar orasi dari Bang Manto. Bang Manto ini mantan preman yang sekarang jadi semacam ketua ojek pangkalan mereka. Bang Manto bicara panjang lebar bak orator profesional, tapi intinya sebenarnya sederhana saja. Mereka tetap harus memupuk rasa persaudaraan sebagai sesama tukang ojek pangkalan. Jangan pernah kompromi dengan ojek online!
“Kalau ada ojek online dengan radius satu kilometer dari pangkalan, hajar! Setujuuu!??”
Bang Manto mengangkat tangannya tinggi-tinggi sembari memandang kesekelilingnya.
“Setuju….,” lirih Asep. Lalu diikuti Curik dan beberapa yang lainnya. Seno pun ikut-ikutan menyahut.
Sebenarnya yang bikin Seno tidak enak meninggalkan ojek pangkalan adalah Bang Manto cukup berjasa dalam sebagian perjalanan hidupnya, khususnya setahun terakhir ini. Dia-lah yang memasukkan Seno sebagai salah satu anggota ojek pangkalan di situ. Dia jadi bisa ada tambahan biaya kuliah. Lumayan hasil narik untuk bayar listrik kost, atau bayar fotokopian. Dimasukkan jadi anggota ojek pangkalan cuma-cuma lagi, soalnya yang lain mesti bayar. Tapi soal iuran rutin harian Seno tetap wajib setor.
Mereka semua yang narik, diwajibkan menyetor dua ribu rupiah per hari. Iurannya dipegang Bang Manto. Katanya sih uangnya untuk dana bersama, atau buat jaga-jaga jika sewaktu-waktu ada anggota ojek pangkalan yang membutuhkan. Misalnya mau service berat tapi belum ada uang. Biaya service-nya bisa dipinjam dari dana bersama dulu, lalu dicicil sesuai kemampuan.
Selama ini Seno baru merasakan dana bersama itu saat mereka bersama-sama rekreasi ke pantai bersama keluarga. Seno tidak bawa keluarga karena memang di perantauan dia hidup sendiri.
---
Sudah dua hari ini Seno jadi pengemudi ojek online, tapi diam-diam. Rute yang dipilih pun jauh dari lokasi perumahan tempatnya tinggal.
Sore ini mereka dipanggil Bang Manto lagi untuk berkumpul. Lokasi yang dipilih adalah rumahnya sendiri yang saat ini sedang sepi karena anak istrinya bertandang ke rumah orang tua mereka.
Tidak ada yang mengerti ada apa lagi kali ini, tapi hampir semua sesama tukang ojek pangkalan hadir. Jumlah mereka saat ini 13 orang, termasuk Seno.
Bang Manto kembali berorasi mengenai persaudaraan sebagai sesama tukang ojek. Di ujung pidatonya dia bahkan berinisiatif membentuk paguyuban dan memberi nama kepada paguyuban tukang ojek pangkalan itu.
“Sayang, Badrun dan Tamil tidak hadir kali ini karena mereka lagi ada urusan keluarga. Tapi jumlah kita sekarang cukup lengkap. Kita harus memberi nama kepada paguyuban kita ini,” Bang Manto berapi-api. “Dia lalu meletakkan mangkok besar di depan mereka. Mangkok itu berisi air bening, nyaris memenuhi mangkok.
“Bagaimana kalau kita beri nama OPND?!” serunya antusias sembari mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.
Yang lain saling memandang tanda tak paham.
“OPND itu apa, Bang?” tanya Doni, tukang ojek yang paling gempal di antara mereka.
“Haah! Itu pertanyaan yang kutunggu-tunggu, bung Doni,” Bang Manto menepuk-nepuk bahu Doni gembira, lalu mengambil pisau kecil yang sejak tadi tergeletak di atas lemari. Yang lain menatap ngeri.
“OPND itu kepanjangan dari… nah dengar baik-baik. Ojek Pangkalan Never Die! Yang artinya Ojek Pangkalan takkan mati.”
Terdengar gumam serempak dari para pendengar, entah tanda kagum atau tanda tak mengerti.
“Sekarang sebagai tanda persatuan kita yang takkan terpisahkan…,” ujar Bang Manto lagi. “...kita akan menyatukan darah kita di tempat yang bersejarah ini.”
Bang Manto mengiris sedikit permukaan telapak tangannya dengan wajah menahan perih. Darah merah segar mengucur ke dalam mangkok. Setelah itu dia mengedarkan pisau itu ke sampingnya, Curik yang mendapat kesempatan itu pertama kali agak segan.
“Ini mesti ya, Bang?” tanyanya takut-takut.
“Iya! Ini cara menyatakan sumpah setia dan persaudaraan pada paguyuban. Kalau pahlawan-pahlawan kita dulu rela mati untuk menyatakan cintanya pada negara, kita cukup rela meneteskan darah. Ini demi persaudaraan kita, Saudara-saudara! ”
Teman-teman yang lain saling berpandangan lagi. Mau tidak mau, Curik pun mengiris sedikit kulit telapak tangannya. Darah segar pun menitik ke dalam mangkok, bercampur dengan air dan darah Bang Manto yang lebih dulu masuk.
Yang lain mau terlihat mau komplain, tapi enggan karena pemimpin mereka terlihat begitu berapi-api.
Akhirnya setelah semua yang hadir melakukan aksi serupa dilanjutkan dengan membuat yel-yel paguyuban, mereka semua bubar jalan.
Di depan pintu pagar, Seno membuka tasnya untuk mengambil telepon cerdasnya yang sejak tadi tersimpan di sana. Saat itu Doni melintas buru-buru sehingga menyenggol tas Seno sampai terjatuh. Pandangan Doni, juga Asep yang saat itu melintas terpaku pada isi tas Seno. Mata keduanya melotot karena terkejut. Seno pun terlihat gugup, lalu buru-buru mendorong masuk jaket seragam ojek online yang menyembul dari dalam tas.
“Ma…, maaf, bang, sa… saya…,”
Ucapanya terpotong, karena Doni buru-buru menyeretnya keluar pagar lalu memojokkannya di balik dahan pohon manggis agar terlindung dari pandangan yang lain. Asep juga ikut serta.
“Gila kamu! Kamu daftar di Ngo-jek juga?” kecam Doni dengan suara tertahan.
Seno tertunduk takut.
“Saya terpaksa bang, sa…,”
“Sst…!! Jangan bilang-bilang Bang Manto ya. Kami juga, Saya dan Asep,” bisik Doni.
Seno mengangkat mukanya dan menatap tak percaya pada bapak-bapak di depannya.
“Serius, Bang?” tanyanya.
Asep dan Doni mengangguk.
“Badrun, Curik, Paiman, Tamil sama Samijo juga,” sahut Doni.
“Pokoknya hampir semua teman-teman yang mangkal itu sekarang sudah daftar di Ngo-jek juga, makanya sekarang-sekarang ini kami sudah mulai jarang mangkal,” sambung Asep.
“Trus kenapa abang-abang pada gak ada yang berani terus terang sama Bang Manto?”
“Gak enak sama Bang Manto,” sahut Doni.
“Lagian takut juga, ngeri kalau lihat Bang Manto ngamuk. Tuh tadi saja mesti pakai darah-darah segala,” sambung Asep.
Seno menarik napas panjang pertanda lega. Kini kegalauannya telah berkurang drastis.
***
Keesokan siangnya.
Bang Manto menepikan motornya di tepi sebuah halte. Matahari sudah tidak seterik tadi lagi. Dia kemudian celingak-celinguk ke arah kiri kanannya untuk memastikan keadaan aman. Tak lama kemudian dari bagasi motor dikeluarkan sebuah jaket berwarna hitam-hijau, jaket seragam Ngo-jek.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H