Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

[Basalto Terakhir] Kitab Sihir

13 April 2016   21:15 Diperbarui: 13 April 2016   21:21 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi gambar dari: www.123rf.com"][/caption]

Cerita sebelumnya: [Basalto Terakhir] Sekeping Nostalgia

 

“Apa yang kamu lihat?”

“Entahlah, Guru. Tidak seperti membaca pikiran kebanyakan orang, pikiran Guru begitu dalam dan… begitu bening. Tetapi samar-samar aku seperti melihat kesedihan disitu. Guru akan menyampaikan sesuatu yang penting kepada kami. Itu yang membuat Guru bersedih…”

Guru Shandong mengangguk-angguk. Sebaliknya, Thores, Kesha dan Basaman nampak tidak mengerti.

“Kamu memang berbakat, Huria. Kamu hanya perlu membiasakan diri lebih sering lagi.”

“…aku melihat kitab kuno dengan aura sihir yang besar. Ada empat kitab.”

Guru Shandong sedikit terkejut.

“Bagus, Huria, bagus. Sekarang…  aku merasa kalian benar-benar telah siap sepenuhnya lulus dari padepokan ini. Dunia sihir akan menyambut kedatangan kalian, Anak-anakku.”

"Apa yang anda maksudkan, Guru?" tanya Thores.

"Ya, kami merasa masih memiliki banyak kelemahan dan masih butuh bimbingan dari Guru," sambung Kesha.

Guru Shandong menggeleng pelan.

“Hampir seluruh ilmu sihir yang kumiliki telah kuturunkan kepada kalian."

“Tapi bukankah Guru sendiri bilang, kami harus banyak berlatih, berlatih dan berlatih.”

"Seorang ayah bertugas menggendong anaknya sampai anaknya mampu berdiri sendiri. Untuk menguatkan kaki-kakinya, anak itu harus menapaki bumi sendiri. Berjalan, berlari, terjatuh dan bangun kembali. Dia tidak akan pernah bisa belajar berjalan sendiri, jika sang ayah karena merasa sayang, terus saja menggendongnya sepanjang waktu."

Tarian gerimis di luar semakin terdengar.

"Kalian sudah memiliki pengetahuan sihir yang memadai, Anak-anakku. Pelajaran sihir bukan hanya didapatkan di padepokan ini, tetapi juga ada di luar sana pada saat kalian berada di tengah-tengah kaum sihir dan manusia biasa. Pelajaran bukan hanya didapatkan dari literatur tetapi juga didapatkan dari pengalaman dan perbuatan-perbuatan baik yang kalian lakukan untuk orang lain."

Guru Shandong lalu mengeluarkan sebuah peti dari bawah meja makan mereka. Lebar peti itu kira-kira sejangkauan tangan pria dewasa panjangnya. Seluruh permukaan peti, kecuali bagian penutupnya, ditutupi semacam kulit berwarna merah gelap. 

Perhatian keempat murid pun terpusat pada peti itu. Energi sihir yang terpancar dari situ begitu terasa saat diletakkan di atas meja makan.

“Peti ini dibuat oleh paman ayahku, seorang pandai besi terkenal pada zamannya. Permukaan peti dilapisi kulit Naga Merah dari pantai selatan. Konon naga jenis ini sudah tak pernah terlihat lagi. Dengan mantra yang sesuai, kulitnya mampu menjadi perisai sihir yang kuat.”

Guru Shandong menyapukan tangannya, kira-kira sejengkal jaraknya di atas peti. Samar-samar terlihat pendaran cahaya dari ukiran huruf-huruf kuno di bagian penutup peti.

"Rasakan…. Rasakan aura sihir yang begitu kuat dari peti ini.”

Keempat murid terlihat setuju.

“Sepertinya peti ini tidak bisa dibuka dengan cara lain, selain dengan mantra yang sesuai. Seperti gembok dan anak kuncinya,” ucap Kesha.

Guru Shandong mengangguk.

“Apa isi peti ini, Guru? Mengapa diberi perisai sihir yang begitu kuat?” tanya Thores.

“Isi peti ini adalah kitab sihir peninggalan keluargaku turun temurun. Kitab-kitab itu berisi pelajaran sihir tingkat tinggi, tapi tidak sembarang penyihir boleh membukanya. Kaum sihir sudah berikrar untuk tidak melakukan sihir hitam lagi di atas Gopalagos. Sejak itu, sihir-sihir tingkat tinggi hanya diajarkan kepada penyihir-penyihir tertentu saja agar tidak disalahgunakan. Aku telah mempercayai kalian Anak-anakku, dan yakin dengan kemampuan kalian saat ini.”

“Guru… Guru akan membuka kitab itu untuk kami?” tanya Thores.

 “Lebih dari itu, Thores. Aku akan membiarkan kalian mempelajari secara mandiri isi kitab itu. Nah… terakhir aku membuka peti ini, empat tahun lalu, sebelum membawa kalian ke puncak gunung Eisatar. Mari berharap aku tidak melupakan satu kata pun dari mantra pembuka petinya.”

“Wah, Guru bikin penasaran saja…,” celetuk Basaman.

Ini membuat Kesha dan Huria melirik galak ke arahnya.

“Kalian tidak perlu penasaran lebih lama lagi.”

Guru Shandong lalu memejamkan matanya untuk berkonsentrasi. Telapak tangannya di arahkan ke atas penutup peti, lalu dia mulai membacakan baris-baris mantra. Kata-kata magis yang diucapkannya terdengar asing di telinga keempat muridnya. Sepertinya memang salah satu mantra kuno, setua usia peti itu.

Seiring lantunan mantra, huruf-huruf kuno di atas peti semakin berpendar. Gurat-gurat cahaya itu kini membuat ukiran aksara kuno semakin jelas nampaknya. Saat suara Guru Shandong meninggi, terlihat tutup peti bergetar, dan ketika mantra diakhiri, terdengar suara gemeretak beberapa kali. 

Pendar cahaya di atas aksara kuno sudah sirna. Guru Shandong pun membuka tutup peti itu, lalu terlihat endapan sihir dalam rupa asap tipis berwarna kebiruan dari dalam peti.

 

 

---------

(Bersambung)

Pertama kali ditayangkan di planet-fiksi.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun