"Ya, kami merasa masih memiliki banyak kelemahan dan masih butuh bimbingan dari Guru," sambung Kesha.
Guru Shandong menggeleng pelan.
“Hampir seluruh ilmu sihir yang kumiliki telah kuturunkan kepada kalian."
“Tapi bukankah Guru sendiri bilang, kami harus banyak berlatih, berlatih dan berlatih.”
"Seorang ayah bertugas menggendong anaknya sampai anaknya mampu berdiri sendiri. Untuk menguatkan kaki-kakinya, anak itu harus menapaki bumi sendiri. Berjalan, berlari, terjatuh dan bangun kembali. Dia tidak akan pernah bisa belajar berjalan sendiri, jika sang ayah karena merasa sayang, terus saja menggendongnya sepanjang waktu."
Tarian gerimis di luar semakin terdengar.
"Kalian sudah memiliki pengetahuan sihir yang memadai, Anak-anakku. Pelajaran sihir bukan hanya didapatkan di padepokan ini, tetapi juga ada di luar sana pada saat kalian berada di tengah-tengah kaum sihir dan manusia biasa. Pelajaran bukan hanya didapatkan dari literatur tetapi juga didapatkan dari pengalaman dan perbuatan-perbuatan baik yang kalian lakukan untuk orang lain."
Guru Shandong lalu mengeluarkan sebuah peti dari bawah meja makan mereka. Lebar peti itu kira-kira sejangkauan tangan pria dewasa panjangnya. Seluruh permukaan peti, kecuali bagian penutupnya, ditutupi semacam kulit berwarna merah gelap.
Perhatian keempat murid pun terpusat pada peti itu. Energi sihir yang terpancar dari situ begitu terasa saat diletakkan di atas meja makan.
“Peti ini dibuat oleh paman ayahku, seorang pandai besi terkenal pada zamannya. Permukaan peti dilapisi kulit Naga Merah dari pantai selatan. Konon naga jenis ini sudah tak pernah terlihat lagi. Dengan mantra yang sesuai, kulitnya mampu menjadi perisai sihir yang kuat.”
Guru Shandong menyapukan tangannya, kira-kira sejengkal jaraknya di atas peti. Samar-samar terlihat pendaran cahaya dari ukiran huruf-huruf kuno di bagian penutup peti.