Ririn mengambil tissue dari tasnya lalu berdiri dan ujung telunjuknya perlahan menyapukan tissue itu ke bibir Denada. Takut merusak garis lipstik kawannya.
“Oke deh. Udah beres…,”
Ririn kembali duduk. Tapi Denada sepertinya belum lega.
“Yakin udah beres?”
“Iyaa…. Masa aku tega membiarkan mentega itu bikin jelek penampilan kamu di malam bahagia ini…,”
Denada tertawa tapi dia tetap memutuskan untuk membawa wajahnya ke depan cermin di ruang toilet sekalian final check penampilannya. Takut ada yang kurang sempurna di mata pangerannya yang datang sebentar lagi.
Di depan Ririn kini hanya ada kursi kosong. Di atas meja ada piring-piring berisi potongan roti, secangkir kopi latte miliknya dan jus alpukat yang setengah tandas milik Denada. Seketika hawa disekitar situ menghangat. Ada kilatan jahat yang keluar dari mata Ririn. Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah ampul berisi cairan bening. Dia sendiri hampir tak percaya berhasil memulai sebuah skenario terkelam dalam hidupnya.
Lima menit kemudian, Denada kembali dari toilet. Hampir bersamaan, pria yang ditunggu-tunggu juga muncul menghampiri meja mereka.
“Hai, Ririn…,”
“Tomi,…. akhirnya,…” sahut Ririn.
Dia sebenarnya berniat memuji penampilan Tomi malam ini. Sungguh tampan dan…. maskulin. Namun niat itu diurungkan demi menjaga perasaan Denada. Mereka baru beberapa hari ini jadi sepasang kekasih. Walau Denada akan tamat malam ini, dia harus tetap menikmati setiap menit kehidupan yang tersisa. Bagaimanapun juga, Denada adalah kawannya.