Dayat baru mau berbalik, tapi mengurungkan niatnya. Kelvin dan Agnes jadi heran.
“…tapi sebelumnya…. Mbak Agnes boleh gak? Ehm!... boleh gak minta….. tandatangannya?,”
Agnes tersenyum. Kelvin menjulingkan mata ke atas. “Nanti aja minta tanda tangannya, Yat. Mbak Agnesnya kan lagi rehat nih…,” ujarnya.
“Udah gak apa-apa, mas. Oh ya, saya tanda tangan dimana nih?”
Dayat tersentak kaget. Lalu buru-buru mengeluarkan beberapa CD dan spidol dari tas mini yang tersampir di punggungnya.
“Disini aja mbak,…. Maaf merepotkan,” Dayat memaki diri dalam hati. Potongan-potongan kalimat yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari tiba-tiba hilang semua. Dia malah jadi terlihat super kikuk di depan idolanya itu.
“Nama saya, Dayat, mbak..,”
“Iya, tahu…,” sahut Agnes tersenyum. “Tadi sudah dikenalin mas Kelvin. Katanya kamu banyak nempel poster saya di rumah kamu…,”
“Iya mbak, hehehe….,” Dayat tersipu malu.
“Saya juga tahu hal lain, loh,” Agnes tersenyum penuh misteri. Dayat menyurutkan senyumnya. Jangan-jangan mbak Agnes tahu kalau gue punya banyak utang khususnya pada Bom-bom nih, batin Dayat.
“Selain pop sama rock, kamu juga senang musik dangdut, iya kan?” todong Agnes.