Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cinta Bersemi di Bar

18 Mei 2021   15:27 Diperbarui: 18 Mei 2021   15:52 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berdiri di muka pintu

Lampu warna-warni berkedip dalam remang-remang malam

Lantunan musik berdentum keras tak berkesudahan hingga menjelang subuh

Segala aroma berseliweran mengiringi keluar masuk insan yang mencari nikmat pada dunia malam

Aku berdiri di muka pintu

Pada meja oval berkaki satu wajah-wajah mungil bermanja-manja dalam peluk hambar

Meneguk tetes penghangat tubuh demi membangkitkan hasrat bersuka

Merebahkan tubuh pada pangkuan berbeda di setiap detik waktu

Aku berdiri di muka pintu

Menatap wajah-wajah kosong dalam balutan bedak, lipstik dan gaun seksi

Meliuk kian kemari memanjakan mata dan hasrat pencari nikmat

Melayani dalam senyum dan pelukan hambar tanpa rasa memiliki

Aku berdiri di muka pintu

Menatap gadis pujaanku

Berjuta tangan menyentuh lekuk tubuhnya pada beribu-ribu malam

Tubuh mungil dalam dekapan para pencari nikmat

Aku berdiri di muka pintu

Mengarahkan pandangan ke meja oval berkaki satu

Samar-samar mata saling beradu pandang

Dua jiwa larut dalam satu rasa

Siapakah aku?

Aku seorang satpam di bar

Siapakah dia?

Di seorang pramuria

Tatapan sendu mengalirkan sengatan listrik yang dahsyat

Sukma mendidih mencairkan jiwa yang beku oleh hasrat nikmat sesaat

Meja oval berkaki satu patah terkulai seakan tanpa sebab

Berdiri menuju pintu datangnya sorot mata menggetarkan itu

Kami bangkit dan keluar!

Aku berhenti berdiri di muka pintu

Dia berhenti duduk di meja oval berkaki satu

Kami melangkah ke alam bebas

Di bawah kaki gunung dalam dekap mata air jernih dan rindang pohon kopi

Mengawali hari dengan penuh syukur kepada sang khalik langit dan bumi

Membawa hamba-hamba rapuh pada jalan terang demi selamat

Tak menghakimi melainkan memeluk penuh hangat

Aku tak lagi berdiri di muka pintu itu

Tak lagi membaui sejuta aroma amis keringat dan parfum

Tak lagi memandang sorot lampung berwarna-warni

Tak lagi melihat berpasang-pasang manusia berjibaku dalam hasrat nikmat sesaat

Dia tak lagi datang ke ruang penuh lampu warna-warni dan dentum musik itu

Tak lagi menemani peziarah yang haus hiburan duniawi

Tak lagi  berada dalam dekapan lelaki pencari nikmat

Tak lagi berada dalam dunia kelabu penuh gejolak batin

Aku dan dia telah menapaki hidup baru

Berjuang menerima kenyataan pada masa silam

Memulai hidup bersama tanpa saling mengungkit masa lalu

Memeluk kerapuhan masing-masing dalam sikap saling mengampuni

Kami hidup bersama pada gubuk tua di kaki gunung berhawa dingin

Memandang hamparan pegunungan hijau bertabur kilauan mentari pagi

Berteduh pada pohon-pohon kopi yang rimbun tatkala terik menyengat

Saling memeluk erat pada malam dingin di gubuk tua kaki gunung ini

Nabire, 17 Mei 2021; 09.00 WIT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun