Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Papua yang Terluka

18 Agustus 2020   10:12 Diperbarui: 18 Agustus 2020   10:17 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi massa pada peringatan Perjanjian New York di Jayapura, 15 Agustus 2020. Dok. Istimewa.

Papua sedang terluka. Luka besar, bernanah dan mengeluarkan aroma tak sedap. Luka itu menimbulkan rasa sakit luar biasa. Tidak jarang, luka itu mengantar pada kematian di usia dini. Itulah wajah Papua yang sedang terluka parah. 

Luka itu sudah berusia setengah abad lebih, sejak Papua masuk dan tinggal di dalam rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Luka itu tidak pernah diobati. Kini, luka Papua semakin membesar, menganga lebar dan mengalirkan darah, nanah, dan air mata tak berkesudahan.

Mengapa Papua terluka? Siapa yang melukai Papua? Bagaimana menyembuhkan Papua yang terluka itu?

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map yang terbit tahun 2009 mencatat Papua terluka karena empat penyebab yaitu 1) Sejarah integrasi Papua, 2) Pelanggaran Hak Asasi Manusia, 3) Masalah pembangunan dan 4) Marginalisasi orang Papua. 

Keempatnya melejit dalam kecepatan tinggi dari keempat arah mata angin menyerang dan melukai Papua. Seketika, anak panah tertancap pada tubuh Papua. Terluka. Berdarah. Bengkak. Bau busuk menyengat. Kematian kian mendekat.

Papua memiliki sejarahnya sendiri. Pada tanggal 1 Desember 1961, orang Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora diiringi lagu, "Hai Tanahku Papua". Burung Mambruk menjadi lambang negara. Papua pernah merdeka selama delapan belas hari. 

Kemudian, pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Tri Komando Rakyat (Trikora) sebagai jawaban terhadap proklamasi kemerdekaan Bangsa Papua Barat. Sejak saat itu sampai sekarang, operasi militer tumbuh, hidup dan berkembang biak di tanah Papua.

Papua bak gadis cantik. Ia diperebutkan oleh Belanda, Indonesia dan Amerika. Di negeri nun jauh, di New York, pada 15 Agustus 1962, nasib Papua ditentukan oleh ketiga negara tersebut, tanpa melibatkan orang Papua. Kini, setiap tanggal 15 Agustus, orang Papua memperingati Perjanjian New York. 

Salah satu isi perjanjian itu adalah akan dilaksanakan penentuan pendapat bagi rakyat Papua (Pepera), "satu orang satu suara" apakah mau merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan "turun tangan" dalam urusan Papua sampai pelaksanaan Pepera. 

Maka, pada 1 Oktober 1962, Papua berada dalam United Nations Temporary Executive (UNTEA), melalui administratornya,  Jose Rolz Bennet. UNTEA hanya tujuh bulan berada di Papua. Pada 1 Mei 1963, pemerintahan Papua diserahkan kepada Indonesia, untuk selanjutnya mempersipkan pelaksanaan Pepera.

Narasi Pepera Papua, tanggal 14 Juli-2 Agustus 1969 sangat melukai hati orang Papua. Saat itu, penduduk Papua 809.337 jiwa, tetapi peserta Pepera hanya 1.025 orang. Mereka tergabung dalam Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang secara aklamasi memutuskan bahwa Papua bergabung dengan Indonesia. 

Pelaksanaan Pepera yang tidak berdasarkan "satu orang satu suara" telah melukai hati orang Papua. Orang Papua menyadari pembohongan publik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia atas pelaksanaan Pepera yang sangat tidak adil dan tidak jujur itu.  Maka, sejak pelaksanaan Pepera 1969, sampai saat ini gelombang tuntutan Papua Merdeka tidak pernah surut.

Selain karena sejarah, Papua juga sedang terluka parah karena pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Orang Papua mengalami pelanggaran HAM di bidang Sipil-Politik (Sipol). 

Misalnya, kasus penembakan yang menewaskan pelajar dan melukai masyarakat sipil di lapangan Karel Gobay, Paniai, 8 Desember 2014, yang sampai saat ini para pelaku tidak pernah diadili. 

Atau, peristiwa penembakan di Fayit, Asmat, 27 Mei 2019, yang menewaskan empat warga dan melukai satu orang, yang sampai saat ini tidak diselesaikan sampai tuntas. Atau, operasi militer di Nduga, yang menyebabkan ribuan orang mengungsi dan menewaskan ratusan warga sipil karena kekurangan makanan atau terkena peluru militer. Dan masih banyak operasi militer lainnya, yang telah dilakukan oleh militer Indonesia sejak tahun 1960-an dan menewaskan ribuan orang Papua. 

Pelanggaran HAM orang Papua juga terjadi pada bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Misalnya, nasi dipaksakan menjadi makanan pokok orang Papua. Mengonsumsi makanan lokal berupa sagu dan umbi-umbian dianggap miskin dan terbelakang. 

Selain itu, pusat-pusat ekonomi, kios, pasar, toko, bengkel, salon, semua dikuasai oleh orang pendatang. Demikian halnya, bahasa daerah, lagu-lagu daerah, rumah adat yang menjadi simbol identitas orang Papua sengaja dibiarkan tergerus, tidak terawat dan hilang seiring zaman.

Sejak tanggal 1 Mei 1963, saat UNTEA menyerahkan Papua ke Indonesia, pemerintah Indonesia menganggap bahwa Papua menjadi miliknya. Kini, setiap tanggal 1 Mei, diperingati oleh Indonesia sebagai hari kembalinya Papua ke dalam pangkuan NKRI. 

Pada titik ini, kita bertanya, "Siapa itu (orang) Papua? Siapa itu Indonesia?" Apakah Papua menjadi anak angkat NKRI? Atas dasar apa adopsi itu dilakukan? Apakah orang Papua bersedia diadopsi oleh NKRI? Pertanyaan ini penting mengingat sampai saat ini, orang Papua tidak merasa nyaman tinggal di dalam rumah NKRI. Orang Papua mau membangun rumah sendiri seturut budaya, adat, tradisi melanesia, yang sangat berbeda dengan NKRI yang penduduknya memiliki ras melayu.

Perbedaan Papua, ras melanesia dan Indonesia, ras melayu tampak mencolok. Namun, Indonesia memaksakan kehendaknya agar orang Papua menjadi sama dengan Indonesia, ras melayu. Proses pemaksanaan itu terbungkus dalam istilah pembangunan. Atas nama pembangunan, Indonesia memaksa orang Papua meninggalkan jati dirinya. 

Dampaknya, orang Papua mengalami keterpecahan diri. Orang Papua menjadi terasing di atas negerinya sendiri. Milik kepunyaan orang Papua dianggap tidak baik. Misalnya, koteka dan cawat sebagai busana tradisional harus diganti dengan kain, hasil produksi kapitalis. Makanan pokok berupa sagu dan umbi-umbian berganti beras, supermi dan ikan kaleng. 

Bahasa daerah ditinggalkan demi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Pembangunan seyogianya membawa orang Papua menuju kesejahteraan di atas jati dirinya, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa pembangunan yang diterapkan pemerintah Indonesia di Papua justru membuat orang Papua terasing di atas negerinya sendiri.

Luka pembangunan melahirkan lagi luka marginalisasi terhadap orang Papua. Pembangunan yang bermuara pada eksploitasi sumber daya alam Papua membuat orang Papua tersingkir. Orang Papua kehilangan tanah, hutan dan sumber-sumber penghidupan, sagu, air bersih dan binatang buruan. 

Kita menyaksikan kota-kota di Papua dikuasai oleh orang pendatang. Warung makan, penjual sayur keliling, kios, pasar, toko, semua dikuasai dan dikendalikan oleh orang pendatang.  Orang Papua menjadi penonton.

Pemerintah Indonesia secara sengaja membiarkan marginalisasi terhadap orang Papua berlangsung secara masif. Kita tidak menemukan peraturan pemerintah yang melindungi hak-hak dasar orang Papua di semua aspek kehidupan orang Papua. 

Misalnya, di Asmat, Mama-Mama Papua menjual sagu bakar, singkong rebus dan ikan goreng atau ikan bakar. Orang pendatang berusaha merebut kesempatan itu dengan menjual sagu bakar dan ikan goreng. Contoh semacam ini terjadi di seluruh tanah Papua dan masuk di dalam seluruh sendi kehidupan orang Papua.

Tampak bahwa bagi pemerintah Indonesia, apa pun yang terjadi pada orang Papua merupakan hal wajar dan biasa-biasa saja. Orang Papua mati ditembak tentara dan polisi Indonesia dianggap biasa karena demi NKRI harga mati. Orang Papua mati karena gizi buruk, HIV-AIDS, malaria, diare dianggap biasa. Orang Papua tidak bisa bersekolah dianggap biasa. 

Tanah-tanah di Papua beralih ke orang pendatang dianggap biasa. Hutan berganti perkebunan kelapa sawit dianggap biasa. Begitulah perlakuan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua. Karena pengalaman-pengalaman penderitaan semacam itulah yang mendorong orang Papua berjuang untuk meninggalkan rumah NKRI.

Indonesia telah mengadopsi Papua sebagai anak angkat, tetapi menelantarkan dan melukainya. Orang Papua mengalami luka demi luka tak terobati dan tersembuhkan. Luka Papua semakin parah. Papua berada di dalam rumah NKRI, bukan dalam kondisi sehat, melainkan sakit kronis, terluka parah. 

Papua sedang hidup dalam kondisi luka busuk, yang telah tercium sampai ke dunia internasional. Dalam keadaan terluka, di dalam rumah besar NKRI, Papua berjuang menyembuhkan dirinya sendiri. Indonesia tidak peduli. Bagi Indonesia, Papua adalah sebuah harga mati di dalam NKRI, tanpa peduli pada luka busuk yang diciptakannya dan sedang diderita oleh orang Papua.

Dalam keadaan terluka. Berjalan pun terseok-seok. Papua berjuang untuk bertahan hidup. Nafas yang tersisa memberi harapan akan datangnya saat penyembuhan itu. Ada keyakinan kuat bahwa cara terbaik untuk mengobati dan menyembuhkan dirinya adalah berpamitan dengan Indonesia. 

Papua keluar dari rumah NKRI dan membangun rumahnya sendiri. Di dalam rumah baru itulah, Papua dapat menyembuhkan dirinya. Di dalam rumah baru itu pula, Papua dapat memulihkan dirinya yang terluka dan teraniaya selama tinggal di dalam rumah NKRI.

Indonesia, selaku orang tua angkat Papua, sampai saat ini belum merelakan Papua berpamitan dengan dirinya. Berbagai upaya ditawarkan Indonesia, mulai dari otonomi khusus (Otsus)-sebenarnya tidak ada kekhususan apa pun di tanah Papua selama ini. Tawaran pembangunan, yang justru membuat orang Papua semakin termarginal. 

Sedangkan, orang Papua meminta dialog antara pemerintah Indonesia dan Papua, tetapi Indonesia tidak menghiraukannya. Tokoh sentral dialog damai, Jakarta-Papua, Pastor Neles Tebay sudah meninggal dunia pada April 2019. 

Kini, orang Papua minta refrendum, penentuan nasib sendiri karena Pepera 1969 penuh tipu muslihat. Bahkan Pastor Katolik primbumi Papua telah secara terbuka meminta dilaksanakan refrendum di tanah Papua.

Kita menyimak bahwa banyak permasalahan di Papua terjadi lantaran pemerintah Indonesia tidak menerima orang Papua sebagaimana adanya, seturut budaya, adat, bahasa dan keyakinan akan ideologi dan filosofi hidupnya. 

Pemerintah Indonesia selalu melihat orang Papua sebagai manusia terbelakang, bodoh, belum mandiri, primitif, separatis. Orang Papua tidak menjadi bagian utuh di dalam rumah besar NKRI. Orang Papua di dalam rumah NKRI hanya sebatas penyumbang sumber daya alam.

Tampak bahwa di hadapan pemerintah Indonesia tidak ada kesetaraan martabat antara orang Indonesia, ras melayu dan orang Papua, ras melanesia. Seakan-akan manusia orang Papua memiliki martabat lebih rendah, sehingga dapat diperlakukan sesuka hati oleh pemerintah Indonesia. Diskriminasi dan stigmatisasi terhadap orang Papua dilakukan secara terbuka. 

Misalnya, pada 15 Agustus 2019, bahkan tentara meneriaki mahasiswa Papua di Surabaya dengan sebutan, "monyet', yang menimbulkan aksi demonstrasi besar di seluruh tanah Papua. Peristiwa tersebut hanya satu kisah dari banyak kisah diskriminasi dan stigmatisasi terhadap orang Papua yang ditaburkan pemerintah Indonesia dan tumbuh, hidup serta berkembang di Indonesia selama ini.

Papua yang terluka sedang menanggung sakit. Luka menganga terbalut nanah membusuk pada tubuh Papua telah menguap memenuhi jagat bumi. Dunia internasional sedang mencium aroma busuk luka Papua itu. Di sisi lain, pemerintah Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip bahwa Papua sudah final di dalam "NKRI harga mati" sambil berjuang membungkus luka Papua melalui pembangunan. 

Pemerintah Indonesia tidak mau terbuka mengakui kesalahannya, meminta maaf dan berdialog dengan orang Papua. Sikap tertutup pemerintah Indonesia terhadap desakan orang Papua untuk berdialog atau refrendum justru merugikan Indonesia. 

Sebab, lambat laun luka Papua akan semakin membusuk dan tidak bisa diobati lagi di dalam rumah NKRI sehingga suka atau tidak suka, Papua akan keluar dari rumah NKRI dan membangun rumahnya sendiri demi menyembuhkan luka-lukanya.

Mengingat desakan dari Papua yang terluka semakin mendunia, maka pemerintah Indonesia perlu segera membuka diri dan membangun dialog/perundingan-atau apa pun namanya-dengan orang Papua. Pemerintah Indonesia dan orang Papua perlu berjumpa di meja dialog/perundingan untuk menyelesaikan permasalahan Papua secara bermartabat dan berkeadilan bagi orang Papua. 

Kebijakan apa pun terkait masa depan Papua harus lahir dari perjumpaan, dialog/perundingan dengan orang Papua. Pemerintah Indonesia tidak bisa lagi menerapkan kebijakan sepihak berdasarkan pikiran Jakarta untuk orang Papua.

Sebab, saat ini, pada setiap lubuk hati orang Papua sedang bersemi kerinduan untuk mengatur diri, hidup dan masa depannya di rumahnya sendiri, rumah Papua. Di sini, di tanah Papua, leluhur, alam semesta dan segenap rakyat Papua meyakini bahwa sebesar apa pun luka Papua yang telah diciptakan oleh Indonesia akan terobati dan sembuh di rumah baru Papua.

Kini, pilihan ada pada pemerintah Indonesia, apakah mau membuka diri, menjamah, mengobati dan menyembuhkan luka orang Papua di dalam rumah NKRI atau membiarkan orang Papua tetap terluka dan berjuang untuk keluar dari rumah NKRI dan mendirikan rumah baru demi menyembuhkan luka-lukanya itu?

[17 Agustus 2020; 10.18 WIT].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun