Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Papua yang Terluka

18 Agustus 2020   10:12 Diperbarui: 18 Agustus 2020   10:17 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi massa pada peringatan Perjanjian New York di Jayapura, 15 Agustus 2020. Dok. Istimewa.

Pelaksanaan Pepera yang tidak berdasarkan "satu orang satu suara" telah melukai hati orang Papua. Orang Papua menyadari pembohongan publik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia atas pelaksanaan Pepera yang sangat tidak adil dan tidak jujur itu.  Maka, sejak pelaksanaan Pepera 1969, sampai saat ini gelombang tuntutan Papua Merdeka tidak pernah surut.

Selain karena sejarah, Papua juga sedang terluka parah karena pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Orang Papua mengalami pelanggaran HAM di bidang Sipil-Politik (Sipol). 

Misalnya, kasus penembakan yang menewaskan pelajar dan melukai masyarakat sipil di lapangan Karel Gobay, Paniai, 8 Desember 2014, yang sampai saat ini para pelaku tidak pernah diadili. 

Atau, peristiwa penembakan di Fayit, Asmat, 27 Mei 2019, yang menewaskan empat warga dan melukai satu orang, yang sampai saat ini tidak diselesaikan sampai tuntas. Atau, operasi militer di Nduga, yang menyebabkan ribuan orang mengungsi dan menewaskan ratusan warga sipil karena kekurangan makanan atau terkena peluru militer. Dan masih banyak operasi militer lainnya, yang telah dilakukan oleh militer Indonesia sejak tahun 1960-an dan menewaskan ribuan orang Papua. 

Pelanggaran HAM orang Papua juga terjadi pada bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Misalnya, nasi dipaksakan menjadi makanan pokok orang Papua. Mengonsumsi makanan lokal berupa sagu dan umbi-umbian dianggap miskin dan terbelakang. 

Selain itu, pusat-pusat ekonomi, kios, pasar, toko, bengkel, salon, semua dikuasai oleh orang pendatang. Demikian halnya, bahasa daerah, lagu-lagu daerah, rumah adat yang menjadi simbol identitas orang Papua sengaja dibiarkan tergerus, tidak terawat dan hilang seiring zaman.

Sejak tanggal 1 Mei 1963, saat UNTEA menyerahkan Papua ke Indonesia, pemerintah Indonesia menganggap bahwa Papua menjadi miliknya. Kini, setiap tanggal 1 Mei, diperingati oleh Indonesia sebagai hari kembalinya Papua ke dalam pangkuan NKRI. 

Pada titik ini, kita bertanya, "Siapa itu (orang) Papua? Siapa itu Indonesia?" Apakah Papua menjadi anak angkat NKRI? Atas dasar apa adopsi itu dilakukan? Apakah orang Papua bersedia diadopsi oleh NKRI? Pertanyaan ini penting mengingat sampai saat ini, orang Papua tidak merasa nyaman tinggal di dalam rumah NKRI. Orang Papua mau membangun rumah sendiri seturut budaya, adat, tradisi melanesia, yang sangat berbeda dengan NKRI yang penduduknya memiliki ras melayu.

Perbedaan Papua, ras melanesia dan Indonesia, ras melayu tampak mencolok. Namun, Indonesia memaksakan kehendaknya agar orang Papua menjadi sama dengan Indonesia, ras melayu. Proses pemaksanaan itu terbungkus dalam istilah pembangunan. Atas nama pembangunan, Indonesia memaksa orang Papua meninggalkan jati dirinya. 

Dampaknya, orang Papua mengalami keterpecahan diri. Orang Papua menjadi terasing di atas negerinya sendiri. Milik kepunyaan orang Papua dianggap tidak baik. Misalnya, koteka dan cawat sebagai busana tradisional harus diganti dengan kain, hasil produksi kapitalis. Makanan pokok berupa sagu dan umbi-umbian berganti beras, supermi dan ikan kaleng. 

Bahasa daerah ditinggalkan demi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Pembangunan seyogianya membawa orang Papua menuju kesejahteraan di atas jati dirinya, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa pembangunan yang diterapkan pemerintah Indonesia di Papua justru membuat orang Papua terasing di atas negerinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun