Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Papua yang Terluka

18 Agustus 2020   10:12 Diperbarui: 18 Agustus 2020   10:17 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi massa pada peringatan Perjanjian New York di Jayapura, 15 Agustus 2020. Dok. Istimewa.

Luka pembangunan melahirkan lagi luka marginalisasi terhadap orang Papua. Pembangunan yang bermuara pada eksploitasi sumber daya alam Papua membuat orang Papua tersingkir. Orang Papua kehilangan tanah, hutan dan sumber-sumber penghidupan, sagu, air bersih dan binatang buruan. 

Kita menyaksikan kota-kota di Papua dikuasai oleh orang pendatang. Warung makan, penjual sayur keliling, kios, pasar, toko, semua dikuasai dan dikendalikan oleh orang pendatang.  Orang Papua menjadi penonton.

Pemerintah Indonesia secara sengaja membiarkan marginalisasi terhadap orang Papua berlangsung secara masif. Kita tidak menemukan peraturan pemerintah yang melindungi hak-hak dasar orang Papua di semua aspek kehidupan orang Papua. 

Misalnya, di Asmat, Mama-Mama Papua menjual sagu bakar, singkong rebus dan ikan goreng atau ikan bakar. Orang pendatang berusaha merebut kesempatan itu dengan menjual sagu bakar dan ikan goreng. Contoh semacam ini terjadi di seluruh tanah Papua dan masuk di dalam seluruh sendi kehidupan orang Papua.

Tampak bahwa bagi pemerintah Indonesia, apa pun yang terjadi pada orang Papua merupakan hal wajar dan biasa-biasa saja. Orang Papua mati ditembak tentara dan polisi Indonesia dianggap biasa karena demi NKRI harga mati. Orang Papua mati karena gizi buruk, HIV-AIDS, malaria, diare dianggap biasa. Orang Papua tidak bisa bersekolah dianggap biasa. 

Tanah-tanah di Papua beralih ke orang pendatang dianggap biasa. Hutan berganti perkebunan kelapa sawit dianggap biasa. Begitulah perlakuan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua. Karena pengalaman-pengalaman penderitaan semacam itulah yang mendorong orang Papua berjuang untuk meninggalkan rumah NKRI.

Indonesia telah mengadopsi Papua sebagai anak angkat, tetapi menelantarkan dan melukainya. Orang Papua mengalami luka demi luka tak terobati dan tersembuhkan. Luka Papua semakin parah. Papua berada di dalam rumah NKRI, bukan dalam kondisi sehat, melainkan sakit kronis, terluka parah. 

Papua sedang hidup dalam kondisi luka busuk, yang telah tercium sampai ke dunia internasional. Dalam keadaan terluka, di dalam rumah besar NKRI, Papua berjuang menyembuhkan dirinya sendiri. Indonesia tidak peduli. Bagi Indonesia, Papua adalah sebuah harga mati di dalam NKRI, tanpa peduli pada luka busuk yang diciptakannya dan sedang diderita oleh orang Papua.

Dalam keadaan terluka. Berjalan pun terseok-seok. Papua berjuang untuk bertahan hidup. Nafas yang tersisa memberi harapan akan datangnya saat penyembuhan itu. Ada keyakinan kuat bahwa cara terbaik untuk mengobati dan menyembuhkan dirinya adalah berpamitan dengan Indonesia. 

Papua keluar dari rumah NKRI dan membangun rumahnya sendiri. Di dalam rumah baru itulah, Papua dapat menyembuhkan dirinya. Di dalam rumah baru itu pula, Papua dapat memulihkan dirinya yang terluka dan teraniaya selama tinggal di dalam rumah NKRI.

Indonesia, selaku orang tua angkat Papua, sampai saat ini belum merelakan Papua berpamitan dengan dirinya. Berbagai upaya ditawarkan Indonesia, mulai dari otonomi khusus (Otsus)-sebenarnya tidak ada kekhususan apa pun di tanah Papua selama ini. Tawaran pembangunan, yang justru membuat orang Papua semakin termarginal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun