Mohon tunggu...
Petrus NaekBresman
Petrus NaekBresman Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar Bidang Ilmu Agama/Teologia Agama-agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tafsir Transformatif Kitab Suci

10 Maret 2023   23:55 Diperbarui: 11 Maret 2023   00:01 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap buku Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan Suara Pemerdekaan : Menuju Demokrasi dan Kesadaran Bernegara

Harus diyakini, agama memang sumber moralitas. Setiap kitab suci tentu berisi ajaran akhlak dan humanitas. Tetapi baik agama ataupun kitab sucinya, pada kenyataannya tidak berbicara sendiri. Sebab, makna-makna ataupun etikanya secara hermeneutik muncul dari proses tafsiran para pengikutnya melalui desakan sejarah yang berbeda-beda, bahkan sesuai dengan minat dan kepentingan kelas sosial masing -- masing. 

Idealnya, dalam keadaan normal, nilai-nilai agama akan berbicara tentang humanisme, tentang tatanan sosial yang harmonis, dan kehidupan ekonomi yang adil. Namun, jika secara pedagogis pembicaraan agama hanya sekedar menghidupkan romantisme spiritual, sudah barang tentu soal ketimpangan struktur sosial misalnya (yang menjadi sebab utama ketidakadilan), jangan harap akan menjadi bagian yang sangat mendasar bagi panggilan atau tantangan iman. 

Dengan demikian, biarpun Al-Quran selalu menekankan tentang pentingnya tauhid sebagai landasan ummatan wahidah, tapi pada kenyataannya kesalehan dan ketakwaan kita belum mampu menghadapi proses terkeping-kepingnya manusia akibat dibelah oleh garis kelas ketimpangan sosial yang disparitasnya semakin curam.

Itulah, sekali lagi, sebuah gambaran singkat mengenai wajah kesalehan kita. Kesalehan yang citranya sangat ditentukan oleh daya beli dan kemampuan material. Semakin miskin, semakin bersahaja seseorang dalam mengungkapkan kesalehannya dalam ekspresi publik. 

Begitu pula semakin kaya seseorang, maka orang tersebut akan semakin mampu menampilkan ketakwaannya yang lebih bergengsi di mata publik. 

Jika demikian, ke manakah hilangnya kesadaran korektif dan kolektif agama untuk membangun masyarakat yang lebih bermartabat dan lebih adil?. Dalam hal ini tidak ada yang salah dengan kitab suci manapun. Tetapi yang harus disalahkan mungkin adalah mengapa tafsiran agama yang liberatif, yang berwatak emansipatoris, menjadi redup dan tidak berdaya menghadapi proses dehumanisasi, kemiskinan struktural, dan berbagai krisis kemanusiaan yang dewasa ini semakin menonjol. 

Namun, sebelum masalah ini kita kembalikan ke soal tafsir agama yang memihak pentingnya transformasi sosial, hal penting yang harus kita persoalkan terlebih dahulu adalah tentang cara kita memandang realitas secara objektif. Tidak setiap permasalahan yang timbul dalam masyarakat harus dicari sebabnya semata-mata sebagai persoalan agama. Apalagi kemudian seolah-olah masalah ini, atau krisis sosial ini, bisa diselesaikan dari sudut pemecahan teologis belaka.

Tidak bisa dipungkiri, memang, sejarah telah membuktikan bahwa peran Islam dalam proses pembentukan negara bangsa ini sungguh besar. Sebelum kita memiliki kesadaran politik kebangsaan, Islam telah menyumbangkan identifikasi budaya nusantara yang luas, melintasi batas-batas etnisitas. 

Sayangnya, peran Islam yang kontributif ini agak lain manakala dalam sejarah perkembangan pergulatan ideologis partai-partai nasional tempo hari harus menentukan apa yang menjadi dasar negara. Dalam hal ini, ternyata Islam terjebak menjadi bendera partai politik dan Islam yang telah kuat sekali menjadi pilar budaya nusantara akhirnya dibawa ke tingkat pertikaian di sektor politik kekuasaan negara secara berkepanjangan.

Oleh karenanya, jangan heran, di samping muncul budaya baru Islam yang ekspresif ini dari bagian pembentukan agama sebagai ide spiritual dan "kesurgaan", bangkitnya konservatisme Islam juga ditandai dengan meluapnya politik "massa" yang menggulung bagaikan awan zaman kebebasan reformasi ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun