Mohon tunggu...
andi petta bone
andi petta bone Mohon Tunggu... -

Membaca dan menulis yang benar dan sopan adalah pekerjaan mulia.Sampaikanlah apa yang kamu baca dan kau alami walau sedikit namun benar dan etik, daripada kamu diam, membisu, sehingga kamu benar-benar tampak lebih mulia dimata Tuhamu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siapa Bilang Rumah Negara Tak Bisa Dimiliki?

8 Agustus 2016   02:25 Diperbarui: 8 Agustus 2016   07:21 3223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda sudah pernah ke Makassar? Kalau belum silakan datang. Di sana coto Makassar  dan sop konro bakar siap menunggu Anda untuk makan siang. Tapi kalo Anda penggemar seafood, singgahlah di Jalan Maipa, Pantai Losari. Di sini banyak hotel dan restauran. 

Semuanya menawarkan anda  ikan laut, cumi,udang dan  kerang laut. Anda tidak akan kecewa dengan seafood khas Makassar. Sebab semua hewan laut itu dijamin segar. Maklum kota Makassar adalah kota pantai yang hanya berpenghuni 1,4 juta jiwa.

Di sebelah timur jalan Maipa ada jalan raya bernama Jln. Amana Gappa. Pemilik nama jalan ini adalah ahli hukum pelayaran Internasional Kerajaan Gowa di abad 17 Masehi. 

Nah, di sebelah kanan jalan ini anda akan melihat sekolah SMPN- 2 dan SMAN 16. Kemudian sekitar 100 meter di samping SMAN 16 terdapat perumahan yang penghuninya kebanyakan anak dari pensiunan PNS Departemen P & K.

Tidak ada yang tahu pasti tahun pembangunan rumah-rumah di sana. Namun Bung Jery Tombokan mengatakan, ia dan orang tuanya menempati rumahnya pada 1951 dan pada saat itu dia sudah melihat ada perumahan di seputar rumahnya. “Mungkin perumahan itu dibangun pada zaman Belanda,” katanya.

Ya, kalau melihat bentuk dan gaya arsiteknya keterangan Bung Jerry Tombokan masuk akal. Misalnya rumah yang ditempati oleh keluarga Kansil. Bentuknya seperti belahan batok kelapa yang ditaruh menghadap ke tanah. Atapnya terbuat dari seng baja. Warnanya coklat kehitaman. Tanda rumah ini sudah uzur.

Benar saja,”Rumah ini dulunya adalah gudang roti tentara Belanda,” kata Pak Kansil, pemiliknya.

Namun yang menarik dari rumah pak Kansil ialah status kepemilikannya. ”Sekarang rumah ini sudah  atas nama Saya,” kata Pak Kansil. “Ya, Ini karena Saya beli dari negara. Cicilannya murah hanya 35 ribu per bulan selama 20 tahun. Tapi kalau Saya meninggal dunia, cicilannya stop,” ungkap  Pak Kansil dengan wajah sumringah.

Setelah Saya telusuri lebih jauh, ternyata bukan hanya Pak Kansil saja yang sudah mengalihkan status rumah negaranya. Lima di antara tetangga sebelahnya juga telah melakukan hal yang sama. Misalnya Haji Badeng, Sudari Hasni, Alm Drs. Naim Sulaeman, Alm Drs. Saleh Iman dan Alm. Drs. Sultan. Semuanya sudah memegang akta sewa-beli rumah negara yang mereka tempati.

“Prosesnya cepat dan cicilannya murah. Yang penting dokumen rumah yang ditempati lengkap transaksi jual-beli dengan pemerintah bisa berjalan lancar,” begitu penjelasan mereka.

Atas fakta itu Saya berasumsi, tidak benar rumah negara (dulu disebut rumah dinas) tak dapat dimiliki oleh pensiunan abdi negara atau anak-anak mereka. Salah besar mengatakan rumah negara dilarang dimiliki. Yang benar ialah dapat dimiliki melalui sewa beli dengan pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun