Mohon tunggu...
Agung Pramono
Agung Pramono Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, Pemerhati Hukum dan Sosial

pemahaman yang keliru atas makna hak adalah akar dari semua kejahatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Advokat Berhak atas Legal Reasoning

18 Agustus 2020   10:00 Diperbarui: 18 Agustus 2020   10:11 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penalaran Untuk Menemukan Hukum

Legal Reasoning merupakan sebuah penalaran hukum melalui metode untuk menganalisa elemen hukum dalam bentuk argumentasi yuridis yang menunjukkan pendirian hukum dengan tujuan untuk menjamin ketertiban, dan kepastian hukum, menyelesaikan suatu permasalahan yang nyata secara imparsial, objektif, proporsional dan manusiawi. Legal reasoning berguna sebagai pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus.

Pasal 25 ayat (1) UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, "Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."

Sumber hukum yang tidak tertulis bisa jadi berasal dari temuan Advokat dalam legal reasoningnya yang disampaikan sebagai dasar mempertahankan atau membela kepentingan dan hak hukum kliennya, yang bisa digunakan oleh Hakim.

Hal ini sangat bisa diterima dengan penalaran dari UU No. 21/2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) yang menyebutkan, "Yang dimaksud dengan petugas di persidangan adalah hakim, penuntut umum, panitera, pendamping korban, Advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam persidangan tindak pidana perdagangan orang."

Ketentuan tersebut diperkuat dengan pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang mengatakan, "Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa peristiwa hukum yang konkrit". [Sudikno Mertokusumo & A. Pitio, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, 1993, hlm. 4]

Argumentasi Advokat

Menurut H.F. Abraham Amos metode legal reasoning mempunyai ciri khas yang bersifat memberikan sanggahan dalam paradigma hukum yang diperdebatkan, khususnya menvangkut masalah aplikasi dan implementasi hukum serta sikap tindak aparatur institusi pengadilan dalam hal penegakan hukum dan keadilan terhadap suatu bentuk perkara yang dapat dibedakan dalam kategori politis atau kriminalitas murni. [H.F. Abraham Amos, Legal Opinion, 2004, hlm. 22]

Akan tetapi kepentingan dari sanggahan tersebut seharusnya diterima sebagai bentuk kendali untuk merelatifisir terjadinya kesesatan hukum sebagaimana dipaparkan oleh R.G. Soekadijo, yaitu argumentum ad ignorantiam, argumentum ad verecumdiam, argumentum ad hominem, argumentum ad misericordiam dan argumentum baculum. [lihat Bahder Johan Nasution, Sri Warjiyati, 2001, hIm. 15]

Bagaimanapun juga seorang Advokat dituntut untuk melakukan suatu penalaran hukum dimana harus mempunyai daya pikir sistematis dengan segala problematikanya, yang akan bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multi-dimensional dengan tujuan demi tercapainya keadilan dan kemanfaatan.

Argumentasi hukum adalah suatu keterampilan ilmiah dalam rangka pemecahan masalah hukum, dimana hasil analisisnya dituangkan dalam bentuk pendapat hukum sebagai ciri khas setiap yuris dalam rangka pemecahan masalah hukum. [H.D. Effendy Hasibuah, Legal Reasoning, Mata ajar Pendidikan khusus Advokat, 2008, hlm. 2]

Penghalang utama dalam legal reasoning terletak pada beberapa faktor penting menyangkut sistem hukum, birokratisasi pemerintah, sistem politik, dan struktur sosial, yang mana penyebab dari halangan tersebut adalah karena seringkali argumentasi yang disampaikan hanya disimpulkan sebagai sebuah retorika dari konsekuensi logis profesi Advokat dalam kepentingannya terhadap klien, dianggap tidak lebih dari sekedar permainan kata belaka. Dalam perkembangannya, penghalang yang muncul dominan adalah berasal dari politisasi hukum.

Dalam konteks retorika, tujuan utamanya adalah untuk memenangkan perhatian dan keyakinan sidang melalui argumen yang telah dibangun, memanfaatkan sarana-sarana persuasi yang dalam konteks kepentingan hukum dan klien adalah melalui sarana pembuktian yang bersifat sosial etik.

Keyakinan sosial etik itu harus dirangkai dalam argumen yuridis murni agar objektif, dan menjadi penafsiran yuridis yang layak untuk menyanggah pendapat yang berkeberatan terhadap keyakinan sosial etis dengan alasan bahwa keyakian sosial etik sudah dipertimbangkan sebelum norma hukum dibuat sehingga tidak relevan lagi bila dihadirkan dalam persidangan.

Kita tidak boleh berpedoman kepada pendirian tidak ada hukum di luar undang-undang karena undang-undang dianggap telah sempurna sehingga tugas hakim hanyalah menegaskan dan menegakkan apa yang sudah diatur dalam undang-undang, seperti ungkapan Cicero "the magistrate is a speaking law, and the law a silent magistrate" (terjemah bebas:  ahli hukum adalah hukum yang berbicara, dan hukum adalah ahli yang diam).

Montesquieu bahkan memberikan ungkapan yang serupa bahwa hakim adalah mulut undang-undang ("le juge est la bouche de la loi").

Namun kemudian Montesquieu menegaskan bahwa pentingnya penafsiran yang menggunakan jiwa undang-undang tatkala undang-undang tidak jelas mengatur suatu hal; [Philipus M. Hadjon-Tatiek Sri Djatmiati, 2016, Argumentasi Hukum, him. 24-25]

Maxim Hukum Dalam Asas Ius Curia Novit

Tradisi hukum merujuk pada pengertian sikap yang tertanam dan terkondisi secara historis, perihal hakikat dan peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintahan, dan tentang cara bagaimana hukum dibentuk atau seharusnya dibentuk, diterapkan, dipelajari, dan diajarkan. Sedangkan sistem hukum merujuk pada pengertian bekerjanya sekumpulan lembaga, prosedur, dan aturan hukum.

Dengan demikian, tradisi hukum lebih luas dari sistem hukum sebab dalam tradisi hukum yang sama sangat mungkin terdapat sistem hukum yang berbeda-beda. [Lihat lebih jauh John Henry Merryman, 1985, The Civil Law Tradition, hlm. 1-5, dan Linda Picard Wood (Ed.), 1996, Merriam-Webster's Dictionary of Law, hlm. 543]

Dalam kaitan tradisi ini tepat kiranya dikutip pernyataan Sudikno Mertokusumo tentang penemuan hukum yaitu, "Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. 

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit". [Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, 1993, hlm. 4]

Karena ternyata undang-undang tidak pernah lengkap atau sempurna maka berkembanglah maxim (pepatah yang diterima sebagai asas) ius curia novit yaitu hakim dianggap tahu apa hukumnya bagi suatu peristiwa konkret yang sedang diadilinya.

Inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur perkara yang bersangkutan. Dari sini berkembanglah pemikiran bahwa karena itu hakim wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat untuk menalar ataupun menjadi dasar pemikiran untuk memutuskan.

Masih banyak hukum di luar undang-undang buatan manusia sehingga tentunya belum lengkap dan belum jelas oleh karenanya harus dicari dan menemukan hukumnya yang mana penemuan dan pembentukan hukum itu ditugaskan kepada hakim atau petugas-petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.

Hakim dianggap tahu hukum karena masih banyak maxim hukum adat serta kebiasaan masyarakat yang belum tersentuh oleh manusia hukum, inilah makna yang sebenarnya, bukan makna tentang sempurna dan rigidnya undang-undang, menurut penulis inilah jiwanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.

Keterkaitan Legal Reasoning Dengan RUU-KUHP

Ada dua pasal yang menarik dalam RUU-KUHP tentang adanya kewajiban Kejaksaan untuk memberikan dan membacakan 'konklusi' atas perkara di tahap banding atau di tingkat kasasi, yaitu tercantum dalam pasal 234 dan 254, konklusi-konklusi yang menjadi salah satu pertimbangan putusan peradilan pidana.

Sayangnya, meski hanya berlaku dalam hal Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Pelanggaran HAM Berat, Terorisme dan Pencucian Uang namun tidak ada penjelasan sama sekali atas makna konklusi kecuali tertulis "Cukup Jelas" dalam bagian penjelasannya, memang dimungkinkan Pemerintah dalam hal ini Kemenkum HAM mempunyai definisinya sebagai perumus akan tetapi ternyata tidak ada dalam Kitabnya.

Konsekuensi logisnya, bila 'Konklusi' dibacakan dalam tingkat banding atau kasasi yang berarti disetiap tingkat pengadilan akan ada sidang terbuka, setidaknya untuk mendengarkan konklusi, ini hal baru yang istimewa yang tidak terjadi pada Advokat terhadap kliennya.

Sebaliknya, muatan materi dalam Pasal 281 RKUHP seolah memaksa Advokat untuk setuju dengan pandangan hakim. Jika tidak, Advokat bisa terjerat pasal sikap tidak hormat atau menyerang integritas hakim, tidak diperbolehkan atau setidak-tidaknya dibatasi oleh delik ini untuk melakukan upaya hukum terhadap perintah pengadilan atau penetapan hakim, termasuk untuk berbeda pendapat dengan hakim dalam pemeriksaan perkara.

Dalam hal-hal tertentu secara extra judicial bisa jadi input yang bakal muncul kemudian adalah kenyataan bahwa Advokat juga dilarang untuk menggalang dukungan atau pendapat publik mengenai perkara yang sedang ditanganinya, misalnya memanfaatkan publikasi media.

Juga, pasal 282 RKUHP dapat menurunkan kredibilitas Advokat sebagai ofcium nobile, karena seolah menggambarkan bahwa Advokat yang sedang menjalankan profesinya melalui argumentasi hukum (legal reasoning) akan dianggap 'mempengaruhi' aparat penegak hukumnya.

Faktanya, konteks peristiwa hukum tergantung kepada mood daripada penegak hukum untuk dibawa kemana arahnya, bukan kepada pemahaman atas norma perundang-undangan.

Dijelaskan oleh Satjipto Raharjo bahwa norma hukum pada hakekatnya meramu dua dunia yang bersifat secara diametral yakni dunia ideal dan dunia kenyataan sebab pada akhirnya norma hukum harus mempertanggungjawabkan berlakunya dari kedua sudut itu pula, karena harus memenuhi tuntutan keberlakuan filosofis maka norma hukum memasukan unsur ideal dan untuk memenuhi tuntutan keberlakuan sosiologis perlu memperhitungkan unsur kenyataan.

Kenapa kekhawatiran ini harus terus dikemukakan? Karena kita sedang berbicara tentang hukum yang mempunyai dimensi dan sifat yang diametral, Advokat adalah petugas di persidangan, Advokat adalah juga yang dimaksud sebagai petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa peristiwa hukum yang konkrit, oleh karenanya Advokat berhak atas legal reasoning untuk penemuan hukum.

Adv. Agung Pramono, SH., CIL.

Kongres Advokat Indonesia [KAI -- Pimpinan TSH]

DPC Klaten, Jawa Tengah

Anggota Forum Intelektual KAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun