Karena ternyata undang-undang tidak pernah lengkap atau sempurna maka berkembanglah maxim (pepatah yang diterima sebagai asas) ius curia novit yaitu hakim dianggap tahu apa hukumnya bagi suatu peristiwa konkret yang sedang diadilinya.
Inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur perkara yang bersangkutan. Dari sini berkembanglah pemikiran bahwa karena itu hakim wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat untuk menalar ataupun menjadi dasar pemikiran untuk memutuskan.
Masih banyak hukum di luar undang-undang buatan manusia sehingga tentunya belum lengkap dan belum jelas oleh karenanya harus dicari dan menemukan hukumnya yang mana penemuan dan pembentukan hukum itu ditugaskan kepada hakim atau petugas-petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.
Hakim dianggap tahu hukum karena masih banyak maxim hukum adat serta kebiasaan masyarakat yang belum tersentuh oleh manusia hukum, inilah makna yang sebenarnya, bukan makna tentang sempurna dan rigidnya undang-undang, menurut penulis inilah jiwanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.
Keterkaitan Legal Reasoning Dengan RUU-KUHP
Ada dua pasal yang menarik dalam RUU-KUHP tentang adanya kewajiban Kejaksaan untuk memberikan dan membacakan 'konklusi' atas perkara di tahap banding atau di tingkat kasasi, yaitu tercantum dalam pasal 234 dan 254, konklusi-konklusi yang menjadi salah satu pertimbangan putusan peradilan pidana.
Sayangnya, meski hanya berlaku dalam hal Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Pelanggaran HAM Berat, Terorisme dan Pencucian Uang namun tidak ada penjelasan sama sekali atas makna konklusi kecuali tertulis "Cukup Jelas" dalam bagian penjelasannya, memang dimungkinkan Pemerintah dalam hal ini Kemenkum HAM mempunyai definisinya sebagai perumus akan tetapi ternyata tidak ada dalam Kitabnya.
Konsekuensi logisnya, bila 'Konklusi' dibacakan dalam tingkat banding atau kasasi yang berarti disetiap tingkat pengadilan akan ada sidang terbuka, setidaknya untuk mendengarkan konklusi, ini hal baru yang istimewa yang tidak terjadi pada Advokat terhadap kliennya.
Sebaliknya, muatan materi dalam Pasal 281 RKUHP seolah memaksa Advokat untuk setuju dengan pandangan hakim. Jika tidak, Advokat bisa terjerat pasal sikap tidak hormat atau menyerang integritas hakim, tidak diperbolehkan atau setidak-tidaknya dibatasi oleh delik ini untuk melakukan upaya hukum terhadap perintah pengadilan atau penetapan hakim, termasuk untuk berbeda pendapat dengan hakim dalam pemeriksaan perkara.
Dalam hal-hal tertentu secara extra judicial bisa jadi input yang bakal muncul kemudian adalah kenyataan bahwa Advokat juga dilarang untuk menggalang dukungan atau pendapat publik mengenai perkara yang sedang ditanganinya, misalnya memanfaatkan publikasi media.
Juga, pasal 282 RKUHP dapat menurunkan kredibilitas Advokat sebagai ofcium nobile, karena seolah menggambarkan bahwa Advokat yang sedang menjalankan profesinya melalui argumentasi hukum (legal reasoning) akan dianggap 'mempengaruhi' aparat penegak hukumnya.