Omnibus Law Yang Abai Sejarah
Berbicara mengenai omnibus law, maka juga membahas mengenai pembangunan berbasis agraria di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir-kelautan, properti dan infrastruktur yang menjadi bagian dari sasaran RUU yang juga disebut Cipta Kerja ataupun sapu jagat.
Omnibus Law hadir dengan konsep merevisi 1.244 pasal pada 79 undang-undang yang mencakup 11 klaster dalam lingkup penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, kawasan ekonomi, baik itu kawasan industri.
Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Omnibus Law bisa merevisi banyak aturan sekaligus. Sistem omnibus ini hanya bisa dipakai untuk UU tentang keuangan, yang banyak bicarakan teknis untuk meringkas. Bukan untuk mengubah UU.
UU dibuat untuk merapihkan tatanan kemasyarakatan, juga untuk membatasi kekuasaan, dilain pihak kekuasaan itu memiliki wewenang untuk membentuk UU.
Ternyata dalam perkembangannya justeru mengatur tatanan pekerjaan dan profesi masyarakat, UU dibuat lebih kepada maksud sebagai perangkat rekayasa sosial yang sifatnya ke tubuh rakyat itu sendiri dan terasa menekan.
Soal investasi dan bisnis juga infrastruktur sampai pembangunan, dulu VOC pun demikian dalam perikatannya dengan wilayah nusantara, tapi dalam perkembangannya melakukan intervensi dan rakus. Sepertinya, catatan sejarah itu secara tidak sadar akan diulang namun kali ini dengan inisiatif, kepastian hukum dari sistem civil law direduksi dengan "godaan" dinamika ekonomi-politik common law.
Secara singkat, desain omnibus mulai berakar kuat pada sekitar abad 17 dan 18, Inggris Raya, Meksiko, Jerman, Perancis, Scotlandia dan juga Amerika akhirnya membangun sebuah desain omnibus bill untuk mengatasi banyak kekacauan (bukan memperbaiki). Desain omnibus pada hakikatnya adalah mengatasi banyak kekacauan, dalam situasi yang sudah tidak bisa diperbaiki.
Situasi pada masa itu hampir serupa dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan, singkatnya ialah perkembangan masalah SARA dan politisasi dalam banyak aspek dan sendi kehidupan rakyat.
Desain ini dapat saja dilakukan dengan suatu kesepakatan bersama untuk mengakhiri banyak kekacauan, masalahnya, kekacauan semacam apa yang dimaksud oleh pengagas desain omnibus?
Apakah keberagaman adat-budaya yang membuat politik sulit untuk melakukan perubahan itulah yang dimaksud dengan penyebab kekacauan? Apakah dengan demikian penggagas tersebut bermaksud untuk menggantikan keberagaman dengan penyeragaman?
Bila demikian konsepnya maka hal tersebut merupakan sebuah kesalahan besar.
Meski diakui secara tekstual bahwa dalam rangka debirokratisasi perizinan dan penyeragaman kebijakan pusat dan daerah untuk mengatasi stagnasi perekonomian di lapisan bawah, ombinus law bisa menjadi salah satu alternatif, namun sekali lagi masalah sistem hukum tidak hanya berada di wilayah tekstual.
Kontroversi Desain Omnibus
Desain omnibus di Indonesia tentu akan menuai kontroversi dan menjadi ironi tersendiri bahkan sejak dalam pikiran, paling tidak terdapat beberapa alasan yang membuat penulis merasakan lugunya industri hukum kita ini, antara lain:
- Argumen klasik dari pembuat UU dikatakan bahwa untuk membahas UU satu persatu bukanlah hal yang efektif, ironinya adalah bahwa seribuan halaman omnibus itu tentu dalam pembahasannya mengkaji satu persatu UU,
- Sifat lex spesiali hilang karena semua UU disinkronisir dan diharmonisasi untuk satu tujuan saja, yaitu investasi yang menjadi satu-satunya hal yang spesial,
- Benar omnibus tudak mecabut UU tapi mengarahkan maksud / original intent untuk satu tujuan investasi secara khusus,
Kita belum bicara tentang konsep/bentuk dari Omnibus law, tapi substansinya. Sepertinya, lebih logis menurut doktrin hukum jika kita berbicara tentang omnibus parliement ketimbang omnibus law.
Pasal dalam sebuah UU bisa diubah bilamana nyata-nyata inkonstitusional, Peraturan bisa dibatalkan bilamana bertentangan dengan aturan lainnya - melalui constitutional review, judicial review ataupun executive review.
Namun, bisakah puluhan UU yang konstitusional itu kemudian diubah, diharmonisasi dan disinkronisir untuk kepentingan Pemerintah yang ingin membuka kesempatan dan kemudahan bagi para investor? Bisa, dengan kewenangan kekuasaan, tapi secara doktrinal itu tidak etis.
Apakah kepentingan Pemerintah juga bisa dimaknai sama dengan kepentingan Negara?
Bila tujuan dari harmonisasi itu adalah untuk 'kemudahan investasi' lalu dimana relevansinya dengan pemberian judul 'cipta kerja'?
Apakah adanya investasi itu bisa dimaknai sama dengan kepastian adanya pekerjaan? Apakah yang dimaksud dengan adanya lapangan kerja itu bisa dimaknai dengan pekerjaan untuk rakyat? Apakah pekerjaan untuk rakyat itu bisa dimaknai sama dengan penghidupan/pendapatan yang layak? Apakah pendapat yang layak itu bisa dimaknai sama dengan kesejahteraan bagi seluruh rakyat?
Lalu, bagaimana dengan investasi pendidikan dan investasi kesehatan? Apakah berjalan linear, sinkron dan relevan dengan investasi usaha dan/atau cipta kerja?
Pembuat desain Omnibus Law harusnya lebih jujur dan konkrit dalam penamaan UU, semoga kejujuran dan etika hidup bermasyarakat dapat lebih mendominasi pemikiran ketimbang konsepsi politis.
Fatalitas Omnibus Law Sebagai Lahan Bisnis Pokrol
Omnibus Law merupakan produk dari industri hukum dimana karakter dari produk tersebut akan mempengaruhi peran dan fungsi para penegaknya, dan Advokat termasuk didalamnya.
Implementasi desain omnibus law membutuhkan kekuatan diwilayah hukum baik idea maupun praksis, dan yang berada disana adalah para Advokat serta akademisi, kekuatan yang berada diluar kuasa politik dan tidak boleh disentuh oleh politik praktis, organisasi Advokat.
Mengingat dampak omnibus yang bisa jadi masiv hingga ke akar, kita tidak bisa menerapkan prinsip pokrol atau menjadikan Advokat sebagai bagian dari trias politika karena hal itu menunjukkan opresi terhadap rakyat, tidak ada keseimbangan untuk mempertahankan kedaulatan rakyat.
Omnibus Law hanya akan menempatkan Advokat sekedar untuk memenuhi kekosongan hukum, sebagai pokrol - lagi, mengulangi romantisme sejarah opresi. Namun, konsistensi Belanda dulu memang harus diakui, meskipun fungsi pendampingan hukum itu hanya sekedar tulisan diatas kertas tapi secara disiplin entitas penegak hukum pengisi hukum acara harus dinyatakan.
Disisi lain, dari segi bisnis maka output daripada Omnibus Law membuka lahan bisnis penegakan hukum terutama Advokat. Hal ini tentunya menimbulkan polemik etik tersendiri, kerapuhan masyarakat bukanlah potensi bisnis, meski dalam kemandirian namun Advokat tidak lahir dengan tujuan untuk berbisnis dengan pemerintah, dan tidak juga berada dalam naungan pemerintah sebagai alat untuk mengatasi permasalahan masyarakat terdampak Omnibus Law -- ini bentuk pengkhianatan profesus.
Dengan jubah OBH maka Advokat dianggap dapat membantu rakyat untuk mendapat akses memperoleh pemahaman hukum, hak asasi manusia, hak sipil, politik, sosial, budaya dan hak ekonomi dengan mindset pemberian bantuan hukum probono dikualikasi sebagai hal yang tidak berbeda dengan pelayanan hak-hak jasa hukum profesional yang dalam pelaksanaannya diawasi oleh Kode Etik Advokat yang akan dikaitkan dengan kewajiban Advokat Indonesia sebagai tersebut dalam Undang-Undang 18 Tahun 2003, pasal 22 ayat (1) "Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu".
Untuk OA yang melihat dari sudut pandang bisnis maka keuntungannya adalah mendapat kepercayaan dari pemerintah, suatu langkah pencitraan dan ekses promosional, dilain pihak pemerintah bakal dapat dukungan untuk bertahan dengan proyek Omnibus Law. Bakal diperlukan juga tenaga paralegal, setelah Omnibus, bisa jadi UU OBH dan Paralegal bakal menggoyang dunia Advokat.
Negara hukum menurut politikus adalah apa yang akan menjadi proyek menguntungkan maka harus jadi hukum dan punya aturan main, seolah parlementaria cuma sekedar jadi limpahan perpanjang tangan kabinet, dimana semua organ jadi alat.
Kebanyakan para pejabat OA hanya memainkan strategi politik dan kerjasama relasional, sementara bilamana diperhadapkan dengan situasi formal maka mereka bisa kehilangan akal. Maka mereka buat juga strategi formalistik dengan MoU dan sejenisnya, bermain dengan 2 kewenangan eksekutif dan legislatif, yang notabenenya sudah dikunci mati dengan sistem presidensiil.
Omnibus law dikhawatirkan bakal menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memenuhi hak-hak buruh dan rakyat, jadi alat berlindung korporasi yang punya niat tidak baik.
Dengan begitu, RUU Cipta Kerja tidak hanya akan berdampak buruk pada nasib buruh tapi juga akan membahayakan bangunan sendi-sendi ekonomi kerakyatan, jaminan hak atas tanah dan keamanan wilayah hidup dari petani, masyarakat adat, buruh, petani/kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan.
Melihat kemungkinan luasnya masyarakat yang terdampak omnibus tentunya akan terjadi permasalahan hukum yang masiv dan beragam, sehingga akan membutuhkan peran suatu jenis penegak hukum yang juga di desain sebagai penjangkau masyarakat kecil/awam.
Disinilah masalah akan muncul, yaitu:
- Kemunculan paralegal yang instan, non-independen dan parsial yang pada hakikatnya tidak layak untuk melaksanakan kewajiban advokasi, dalam perusahaan tentu akan terpilih mereka yang ditunjuk oleh pengusaha, dan dalam wilayah umum akan menghidupkan kembali budaya pokrol,
- Timbulnya kekeliruan akan pengertian jaksa pengacara negara yang dianggap dapat juga mewakili masyarakat awam, padahal pengertian tersebut dibatasi bahwa jaksa hanya merupakan pengacara pidana bagi pemerintah atas nama negara, keluar, jaksa hanya bertindak sebagai team-leader yang berwenang menentukan Advokat atau firma hukum yang ditunjuk untuk beracara sebagai rekanan,
- Menjamurnya organisasi bantuan hukum dengan jargon probono, yang pada dasarnya tetap dibiayai atas beban negara atau tepatnya dibayar oleh pemerintah sehingga sangat dimungkinkan menjadi embrio dari pengambil-alihan kemandirian Advokat kedalam wilayah eksekutif, hal ini tentu saja mengembalikan situasi dimana pokrol berada dibawah procuerer general, posisi Advokat dibawah jaksa -- ketidakseimbangan kedudukan yang merugikan bahkan sebelum ke pengadilan, pencarian keadilan akan menjadi hal yang sia-sia atau minimal sangat sulit.
Mereduksi Advokat
RUU Omnibus Law dalam rangka penciptaan lapangan kerja ini berbasis hukum administratif dengan pengaturan keperdataan dan bukan masuk ranah pidana. Pemerintah akan menerapkan basis hukum perdata dalam menerapkan aturan main dalam Omnibus Law, yang berarti merelatifisir pidana terutama bagi pengusaha.
Omnibus law siap menjadi senjata sekaligus perisai bagi the power bersikap tends to corrupt, dan kita tinggal menunggu dengan hingga saatnya the power untuk melakukan corrupt secara absolutely.
Dalam negara rectsstaat, Advokat tidak bisa dihilangkan akan tetapi perannya dapat direduksi karena sejarah mengganggap bahwa Advokat merupakan duri dalam daging suatu kekuasaan, Advokat adalah kekuatan yang dapat membatasi kekuasaan, organ otonom yang dapat mengancam trias politika, antitesa dari ajaran politik klasik.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa terdapat kenyataan lain mengenai komodifikasi di mana jasa hukum diperlakukan hanya sebagai komoditas ketimbang upaya memperoleh keadilan, dan opini ini diciptakan oleh pelaku dari sektor di luar hukum, terlepas latar belakangnya di dunia hukum namun pendapatnya sangat parsial, picik serta tendensius.
Stigma negatif dan distorsi industri hukum kembali ditimpakan kepada Advokat, pemahaman yang naif dan tanpa alas pengetahuan yang cukup untuk menilai profesi Advokat.
Padahal perkara jasa hukum adalah juga penerapan kemampuan nalar kemanusiaan berhadapan dengan konstruksi hukum yang secara politis memuat rekayasa perilaku masyarakat sebagai instrumen kekuasaan, disanalah peran profesi hukum terutama Advokat, merupakan investasi idea hukum, tidaklah sempit hanya sekedar jasa pembelaan atau perwakilan belaka, ini adalah pengertian pengacara pengisi kekosongan hukum acara kolonial, si pokrol bambu apus, bukan Advokat.
Konsep yang patut dikhawatirkan adalah ketika lembaga penegak hukum ditempatkan dalam wilayah eksekutif, tidak tampak adanya kemandirian, namun bukan berarti pemikiran semacam itu keliru, sah-sah saja menterjemahkan sebuah idea negara.
Akan tetapi menimbulkan kekhawatiran di kemudian hari, membuka celah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan, seolah pemerintah membangun sebuah benteng pertahanan bagi pemilik idea machtstaat dari sentuhan rakyat terhadap penguasanya, terutama dalam impelementasinya desain politik yang seolah tidak ada yang boleh mengkritisi, melegitimasi suatu hegemoni kekuasaan dan kuasa politik dimana hukum sekedar menjadi instrumen/alat pembenaran.
Sudah tampak bagaimana penguatan regulasi mengenai paralegal, regulasi tentang bantuan hukum dan persebaran promo "jaksa pengacara negara" yang mereduksi keberadaan Advokat di mata masyarakat, dimana tentunya tidak akan banyak direspon oleh Advokat karena tertanam secara etik bahwa Advokat tidak boleh melakukan persaingan semacam ini.
Advokat menawarkan sebuah rechtsstaat, tidak ada hukum dalam keadaan darurat selain menjadi bijak, tidak ada langkah yang baik kecuali langkah moral, omnibus law tidak sehat untuk kita.
Adv. Agung Pramono, SH., CIL.
Kongres Advokat Indonesia [KAI -- Pimpinan TSH]
DPC Klaten, Jawa Tengah
Anggota Forum Intelektual KAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H