Dengan begitu, RUU Cipta Kerja tidak hanya akan berdampak buruk pada nasib buruh tapi juga akan membahayakan bangunan sendi-sendi ekonomi kerakyatan, jaminan hak atas tanah dan keamanan wilayah hidup dari petani, masyarakat adat, buruh, petani/kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan.
Melihat kemungkinan luasnya masyarakat yang terdampak omnibus tentunya akan terjadi permasalahan hukum yang masiv dan beragam, sehingga akan membutuhkan peran suatu jenis penegak hukum yang juga di desain sebagai penjangkau masyarakat kecil/awam.
Disinilah masalah akan muncul, yaitu:
- Kemunculan paralegal yang instan, non-independen dan parsial yang pada hakikatnya tidak layak untuk melaksanakan kewajiban advokasi, dalam perusahaan tentu akan terpilih mereka yang ditunjuk oleh pengusaha, dan dalam wilayah umum akan menghidupkan kembali budaya pokrol,
- Timbulnya kekeliruan akan pengertian jaksa pengacara negara yang dianggap dapat juga mewakili masyarakat awam, padahal pengertian tersebut dibatasi bahwa jaksa hanya merupakan pengacara pidana bagi pemerintah atas nama negara, keluar, jaksa hanya bertindak sebagai team-leader yang berwenang menentukan Advokat atau firma hukum yang ditunjuk untuk beracara sebagai rekanan,
- Menjamurnya organisasi bantuan hukum dengan jargon probono, yang pada dasarnya tetap dibiayai atas beban negara atau tepatnya dibayar oleh pemerintah sehingga sangat dimungkinkan menjadi embrio dari pengambil-alihan kemandirian Advokat kedalam wilayah eksekutif, hal ini tentu saja mengembalikan situasi dimana pokrol berada dibawah procuerer general, posisi Advokat dibawah jaksa -- ketidakseimbangan kedudukan yang merugikan bahkan sebelum ke pengadilan, pencarian keadilan akan menjadi hal yang sia-sia atau minimal sangat sulit.
Mereduksi Advokat
RUU Omnibus Law dalam rangka penciptaan lapangan kerja ini berbasis hukum administratif dengan pengaturan keperdataan dan bukan masuk ranah pidana. Pemerintah akan menerapkan basis hukum perdata dalam menerapkan aturan main dalam Omnibus Law, yang berarti merelatifisir pidana terutama bagi pengusaha.
Omnibus law siap menjadi senjata sekaligus perisai bagi the power bersikap tends to corrupt, dan kita tinggal menunggu dengan hingga saatnya the power untuk melakukan corrupt secara absolutely.
Dalam negara rectsstaat, Advokat tidak bisa dihilangkan akan tetapi perannya dapat direduksi karena sejarah mengganggap bahwa Advokat merupakan duri dalam daging suatu kekuasaan, Advokat adalah kekuatan yang dapat membatasi kekuasaan, organ otonom yang dapat mengancam trias politika, antitesa dari ajaran politik klasik.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa terdapat kenyataan lain mengenai komodifikasi di mana jasa hukum diperlakukan hanya sebagai komoditas ketimbang upaya memperoleh keadilan, dan opini ini diciptakan oleh pelaku dari sektor di luar hukum, terlepas latar belakangnya di dunia hukum namun pendapatnya sangat parsial, picik serta tendensius.
Stigma negatif dan distorsi industri hukum kembali ditimpakan kepada Advokat, pemahaman yang naif dan tanpa alas pengetahuan yang cukup untuk menilai profesi Advokat.
Padahal perkara jasa hukum adalah juga penerapan kemampuan nalar kemanusiaan berhadapan dengan konstruksi hukum yang secara politis memuat rekayasa perilaku masyarakat sebagai instrumen kekuasaan, disanalah peran profesi hukum terutama Advokat, merupakan investasi idea hukum, tidaklah sempit hanya sekedar jasa pembelaan atau perwakilan belaka, ini adalah pengertian pengacara pengisi kekosongan hukum acara kolonial, si pokrol bambu apus, bukan Advokat.
Konsep yang patut dikhawatirkan adalah ketika lembaga penegak hukum ditempatkan dalam wilayah eksekutif, tidak tampak adanya kemandirian, namun bukan berarti pemikiran semacam itu keliru, sah-sah saja menterjemahkan sebuah idea negara.