Bila demikian konsepnya maka hal tersebut merupakan sebuah kesalahan besar.
Meski diakui secara tekstual bahwa dalam rangka debirokratisasi perizinan dan penyeragaman kebijakan pusat dan daerah untuk mengatasi stagnasi perekonomian di lapisan bawah, ombinus law bisa menjadi salah satu alternatif, namun sekali lagi masalah sistem hukum tidak hanya berada di wilayah tekstual.
Kontroversi Desain Omnibus
Desain omnibus di Indonesia tentu akan menuai kontroversi dan menjadi ironi tersendiri bahkan sejak dalam pikiran, paling tidak terdapat beberapa alasan yang membuat penulis merasakan lugunya industri hukum kita ini, antara lain:
- Argumen klasik dari pembuat UU dikatakan bahwa untuk membahas UU satu persatu bukanlah hal yang efektif, ironinya adalah bahwa seribuan halaman omnibus itu tentu dalam pembahasannya mengkaji satu persatu UU,
- Sifat lex spesiali hilang karena semua UU disinkronisir dan diharmonisasi untuk satu tujuan saja, yaitu investasi yang menjadi satu-satunya hal yang spesial,
- Benar omnibus tudak mecabut UU tapi mengarahkan maksud / original intent untuk satu tujuan investasi secara khusus,
Kita belum bicara tentang konsep/bentuk dari Omnibus law, tapi substansinya. Sepertinya, lebih logis menurut doktrin hukum jika kita berbicara tentang omnibus parliement ketimbang omnibus law.
Pasal dalam sebuah UU bisa diubah bilamana nyata-nyata inkonstitusional, Peraturan bisa dibatalkan bilamana bertentangan dengan aturan lainnya - melalui constitutional review, judicial review ataupun executive review.
Namun, bisakah puluhan UU yang konstitusional itu kemudian diubah, diharmonisasi dan disinkronisir untuk kepentingan Pemerintah yang ingin membuka kesempatan dan kemudahan bagi para investor? Bisa, dengan kewenangan kekuasaan, tapi secara doktrinal itu tidak etis.
Apakah kepentingan Pemerintah juga bisa dimaknai sama dengan kepentingan Negara?
Bila tujuan dari harmonisasi itu adalah untuk 'kemudahan investasi' lalu dimana relevansinya dengan pemberian judul 'cipta kerja'?
Apakah adanya investasi itu bisa dimaknai sama dengan kepastian adanya pekerjaan? Apakah yang dimaksud dengan adanya lapangan kerja itu bisa dimaknai dengan pekerjaan untuk rakyat? Apakah pekerjaan untuk rakyat itu bisa dimaknai sama dengan penghidupan/pendapatan yang layak? Apakah pendapat yang layak itu bisa dimaknai sama dengan kesejahteraan bagi seluruh rakyat?
Lalu, bagaimana dengan investasi pendidikan dan investasi kesehatan? Apakah berjalan linear, sinkron dan relevan dengan investasi usaha dan/atau cipta kerja?
Pembuat desain Omnibus Law harusnya lebih jujur dan konkrit dalam penamaan UU, semoga kejujuran dan etika hidup bermasyarakat dapat lebih mendominasi pemikiran ketimbang konsepsi politis.