Mohon tunggu...
Agung Pramono
Agung Pramono Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, Pemerhati Hukum dan Sosial

pemahaman yang keliru atas makna hak adalah akar dari semua kejahatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kecerdasan DiNA (Digital Native Advocate)

6 Agustus 2020   09:00 Diperbarui: 12 Juni 2022   19:42 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik Dan Penerapan Kecerdasan Buatan

Pada era industry v4.0 atau society 5.0 ini melahirkan suatu polemik di dunia Advokat, dalam konteks efektivitasnya secara fisik, banyak yang dianggap sudah tidak diperlukan lagi, tidak menarik karena jasa Advokat sudah terpenuhi dan terwakili oleh perangkat artificial intelligence (kecerdasan buatan).

Sistem hukum dunia mulai mengadakan integrasi dan makin konsisten menggeneralisir, menyeragamkan asas-asas hingga model normatifnya, dengan alasan untuk memudahkan interaksi demi kesepahaman penanganan perkara lintas yurisdiksi, dilematika yang muncul adalah skenario untuk dinyatakan akan banyak yang dikorbankan, terutama karakter.

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi telah menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi, bahkan melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, kini jawab-jinawab, pemeriksaan bukti dan saksi hingga pembacaan putusan sudah bisa dilakukan secara online melalui teleconference.

Sebenarnya teknologi AI ini disinggung pada sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Tahun 2019, hal yang diangkat sebagai permasalahan krusial oleh TM Luthfi Yazid dan Denny Indrayana.

Profesi Advokat, dalam hal identifikasi dan dokumentasi sedang dikembangkan e-Lawyer oleh Kongres Advokat Indonesia dibawah pimpinan Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, yang sedang dalam proses untuk kerjasama integrasi dengan Mahkamah Agung, juga catatan sipil, pajak dan perbankan. 

Dengan kajian ilmiah mengenai disrupsi dan teknologi AI yang dibahas oleh advokat senior TM. Luthfi Yazid, berbeda dengan inovasi bisnis maka advokat harus membangun budaya beralas hukum, bukan hanya budaya tekno saja tapi juga kemampuan untuk menggunakan perangkat teknologi di era industri 4.0 ini.

Kecerdasan Buatan Tergantung Input Data

Kecerdasan Buatan bergantung pada kumpulan data yang akan diubah dalam bentuk digital atau yang diperlukan untuk keperluan pembacaan oleh program AI.

Indonesia sendiri masih mempunyai kelemahan dalam pemanfaatan teknologi artificial intelligence ini, terutama mengenai input data, banyaknya tumpang tindih antar regulasi, tidak ada sinergitas dan tidak ada keterkaitan, jadi kalaupun sudah dikembangkan di Indonesia maka input data atau resultan/hasil yang diperoleh mestilah tidak optimal.

Dalam wilayah siber dikenal istilah smart-contract (kontrak pintar) dalam sebuah blockchain yang merupakan sistem pengarsipan untuk informasi digital, yang menyimpan data dalam format buku besar terenkripsi dan terdistribusi, yang berarti diperlukan kesepakatan atau minimal suatu kesediaan untuk menerima konsekuensi dari hasil penggunaan sarana AI.

Indonesia juga memiliki regulasi menyangkut pengertian blockchain yaitu Peraturan Bank Indonesia tapi masih terbatas pada masalah keuangan saja, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Suatu kali Mahkamah Agung di Wisconsin, Amerika Serikat, menyarankan agar para hakim juga lebih berhati-hati dalam mempercayai sistem AI, karena pada tahun 2013 di Negara Bagian Wisconsin, Amerika telah terjadi polemik atas penilaian resiko yang didasarkan kepada teknologi big data yang dimanfaatkan oleh hakim.

Bahkan Peraturan Perlindungan Data Umum dikeluarkan di Uni Eropa yang berlaku efektif pada tahun 2018 dengan materinya yaitu “hak untuk tidak tunduk pada keputusan berdasarkan semata-mata pada pemrosesan otomatis.”

Indonesia dapat saja menggunakan pendekatan-pendekatan untuk mengadopsi atau mengelaborasi regulasi internasional kedalam instrumen peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun harus dalam batasan yang diperbolehkan oleh doktrin dan asas hukum yang kita anut, demi kepastian hukum.

Kalau dikaitkan lagi dengan rasa keadilan, kemanusian dan yurisprudensi maka tidak akan berkembang, karena putusan belum tentu berpedoman kepada yurisprudensi sebagai pertimbangan etik, jadi AI memang statis berdasarkan input dan suntikan data dan algoritma program. Tidak ada ekspresi manusia yang identik sama untuk bisa dipindai dengan teknologi sensor AI, ia hanya cerdas bukan manusiawi.

Tanggungjawab Alamiah

Amerika mengungkapkan hilangnya kemanusiaan dan keinginan untuk jadi manusia dalam film seperti City of Angels, Constantine dan I Robot. Oleh karenanya dalam hukum kita mengenal satu-satunya yang alamiah adalah manusia.

Subjek hukum harus mempunyai hak dan kewajiban secara subjektif, dan yang terutama adalah dapat dipertanggungjawabkan sumpahnya yang mana secara biologis manusia adalah gejala dalam alam, dan secara yuridis merupakan gejala dalam hidup bermasyarakat.

Bahkan untuk disebut sebagai rechtsfictie maka sesuatu itu harus diakui dulu sebagai pendukung hak dan kewajiban, sebagai subjek hukum apabila dia merupakan kumpulan atau kerjasama orang-orang.

Sederhana saja menurut penulis mengenai pengujian apakah AI ini pantas atau tidak untuk diakui sebagai subjek hukum, antara lain:

  1. Secara alamiah harus mampu melanggar hukum, mampu merusak atau mengganggu keputusan dari maksud keberadaannya sendiri, bilamana satu persatu bagian atau algoritma itu disebut organisasi atau lembaga;
  2. Dengan keinginannya sendiri ia harus mampu bermasalah dengan hukum;
  3. Ia harus bisa menentukan atau ditentukan gender atau identitas sosialnya apakah feminin atau maskulin atau malah berada diantara keduanya.

Dia adalah produk, tidak lebih dari sebuah big data processor, padahal pengambilan keputusan itu tidak hanya didasarkan kepada algorithma dan data formal atau akademik akan tetapi juga naluri dan budi.

Bukan tentang big data tapi validitas data, ada data yang tidak kita perlukan dan ada data yang tidak boleh kita gunakan, yang utama adalah validitas bukan the big bank of data. Bahkan sekiranya yang paling meringankan adalah pemanfaatan teknologi berbasis AI ini berlaku maka yang bermanfaat hanyalah sebagai alat pembuktian dan penyimpanan data, secara relatif. Tetaplah AI ini berupa hardware dan software, teknologi Informasi.

Dalam hukum, AI merupakan subyek hukum dalam pengawasan dan kepemilikan pemilik AI atau pemakai AI yang selanjutnya dipergunakan untuk kepentingan dan tujuan tertentu bagi orang lain sehingga pemilik AI lah yang dapat diminta pertanggungjawaban secara keperdataan.

Sisi Kemanusiaan

Kecerdasan Buatan dengan program algoritma canggih sudah difungsikan dalam sistem peradilan pada banyak negara, baik berupa algoritma prediksi ataupun penilaian risiko, meskipun tampak logis sesuai dengan perkembangan jaman namun hal ini sangat bergantung pada jenis dan kualitas data yang diberikan.

Gayus Lumbuun yang pernah menjabat sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung periode 2011-2018 pernah mengatakan, “Hakim Agung bukan robot. Kami bukan mesin perkara. Kami ini orang, hidup dan bertanggung jawab terhadap nasib orang lain. 

Hakim harus hakim yang excellent, yang mumpuni, hakim yang lengkap. Saya menyesal masuk udah cukup tua dan hanya kebagian masa bakti selama tujuh tahun di MA”, namun sebenarnya pendapat ini diafirmasi oleh pada ahli hukum dan pakar teknologi AI untuk peradilan.

Pada dasarnya tidak pernah ada dua atau lebih kasus hukum yang benar-benar identik, keputusan hukum adalah pilihan manusiawi untuk menemukan perimbangan antara kerumitan masalah dengan potongan-potongan realita yang tidak jelas atau aturan yang kabur. Memilih aturan yang sesuai, dan mempertimbangkan konsekuensi sosial dan efek jangka panjang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan melalui algoritma.

Sekeras apapun kita menolak tapi teknologi tetap akan terus mengalir dan berkembang. Para ahli hukum di abad ke-21 mempunyai pertanyaan penting, yaitu, apa artinya menjadi manusia di era kecerdasan buatan?

Zhou Qiang, kepala Mahkamah Agung Tiongkok, mengatakan bahwa penerapan kecerdasan buatan di ranah kehakiman dapat memberikan para hakim sumber daya yang luar biasa, tetapi itu tidak dapat menggantikan keahlian para hakim. Demikian pula, di Estonia, semua keputusan yang dibuat oleh AI harus direvisi oleh hakim manusia.

Hakim Holmes pernah berkata: “Inti Kehidupan hukum adalah pengalaman, bukan logika.”

Hukum tidak akan tumpul tapi akan menjadi kaku bukan lagi mati diatas kertas tapi tajam tanpa ampun, dan justeru akan makin terbuka kebebasan untuk merubah keputusan secara terbuka melalui suatu kesepakatan tertentu, sudah merupakan hukum alam bahwa uang serta kekuasaan tetap berpengaruh.

Penulis malah punya fiksi sendiri bahwa bila hal ini dipertahankan maka era Eksekutif dan Yudikatif akan hilang, masa depan manusia adalah tidur, dan mereka hanya akan bangun ketika menjalankan tugasnya sebagai legislator dengan prinsip dasar yaitu "pemrogaraman yang dipimpin oleh kesadaran akan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan demi keterwakilan malasnya manusia".

ROSS sudah dimanfaatkan untuk mediasi, Sophia sudah berjalan dengan kecerdasan untuk mempelajari dan meniru pola dan perilaku manusia, LIA (legal intelligent assistant) sudah digunakan di Indonesia, sekarang kita berjalan dengan membuka e-Lawyer, sebuah konsep dari DINA (digital native advocates), masyarakat advokat berbasis digital.

Kita harus batasi ini semua sebagai sekedar alat komunikasi dan penyimpanan data, benda sebagai server, random access memory sebagai hard drive bukan pengambil keputusan atas apa yang akan manusia hukum lakukan, kitalah central processing unit-nya.

Sekali lagi, apa yang tidak dimiliki oleh program dan mesin adalah Literasi Kemanusiaan - nalar, naluri dan budi-pekerti. Literasi kemanusiaan bukanlah tantangan untuk dijadikan algoritma. Nalar, naluri dan budi bukanlah hal yang ada untuk diberikan batasan atau standar seperti moral dan etik yang telah terjerumus.

Disrupsi hanya terjadi pada teknologi dan inovasi tapi tidak pada pengetahuan melalui literasi kemanusiaan, dan Advokat yang menyandang officium nobilium berdasarkan sejarah dan latar belakangnya hendaklah tidak mengkhianati kepemilikan atas 3 hal tersebut - nalar, naluri dan budi-pekerti.

Adv. Agung Pramono, SH., CIL.

Kongres Advokat Indonesia [KAI - Pimpinan TSH]

DPC Klaten

Anggota Forum Intelektual KAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun